Perkembangan Pemikiran Political
Theory serta pengaruhnya terhadap
perkembangan Teori Hukum
A. Latar Belakang George H. Sabine (1886-1960)
George Hollan Sabine adalah salah seorang
penulis bidang teori politik terkemuka di Amerika Serikat. A History of
Political Theory merupakan salah satu karya yang kesohor. Melalui
tulisan-tulisannya, Sabine tampak menaruh perhatian besar pada bidang sejarah
teori politik.
Selain “A History”, Sabine juga telah
menghasilkan karya lain seperti Cicero :On Coomonwealth, yang ia tulis
bersama Stanley B.Smith. Ia juga menterjemahkan buku H. Krabbe “Essays in
Political Theory: The Modern Idea of the State”. Artikel yang ditulis Sabine
juga tersebar di berbagai jurnal, yang makin menguatkan ketertarikannya pada
teori politik. Ia menulis antara lain What is Political Theory (1939), The
concept of the state as power (1920), dan the Pragmatic Approach to Political
Science (1930).
Semasa hidupnya Sabine tercatat sebaai
anggota American Political Science Association. Di forum ilmiah ini pula
ia berdiskusi dengan sarjana-sarjana ilmu politik seperti Harold J. Laski,
George Boas, Arthur C.Cole dan Frank Thilly.
George H. Sabine menguraikan secara panjang
lebar sejarah teori-teori politik yang pernah muncul mulai zaman Yunani Kuno
dan Romawi Kuno hingga munculnya fasisme di Italia dan nasionalisme sosialis di
Jerman menjelang Perang Dunia I; mulai dari konsep negara kota (city-state)
hingga bergemanya konsep rechsstaat.
Secara sederhana, teori politik didefenisikan
Sabine sebagai upaya manusia untuk memahami dan mengatasi masalah-masalah
kehidupan dan organisasi kelompoknya (man’s attempts to consciously
understand and solve the problems of his group life and organization). Teori
politik adalah bagian dari kebudayaan manusia, seperti halnya institusi
politik. Teori politik berkembang sesuai dengan lingkungan politik dimana teori
itu berawal. Sejarah teori politikacapkali dihubungkan dengan kebudayaan Barat.
Teori politik di Barat melahirkan nama-nama
masyhur seperti Plato, Aristoteles, St Agustine, Thomas aquinas, Hobbes, John
Locke, JJ Rousseau, Hegel dan Marx. Pemikiran merekalah yang antara lain
diuraikan Sabine dalam kaitannya dengan dinamika masyarakat.
Sabine mengklasifikasikan sejarah teori
politik ke dalam tiga fase yaitu : (i) teori negara-kota (city-state); (ii)
teori masyarakat dunia (universal community);dan (iii) teori negara nasional
(national state).
B. Teori Negara-Kota
Pada umumnya cita-cita politik modern seperti
keadilan, kebebasan, pemerintahan konstitusional dan kepatuhan pada hukum
merujuk pada pemikiran yang berkembang di Yunani ketika para pemikir memusatkan
perhatian mereka terhadap polis. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan
kelompok masyarakat yang hidup di sebuah negara kota.
Zaman keemasan Yunani Kuno pada sekitar abad
kelima sebelum Masehi ditandai dengan berdirinya sejumlah polis. Setiap polis
terdiri dari jumlah penduduka yang masih sedikit dan wilayah yang tidak terlalu
luas. Salah satu polis yang sangat terkenal pada masa itu adalah Athena.
Perhatian para pemikir terhadap negara-kota
tidak bisa dilepaskan dari hubungan antar satu polis dengan polis lainnya.
Perhatian itu sudah mulai tampak sebelum masa Plato (429-347 SM). Sebut
misalnya Herodotus yang mulai menulis adat istiadat warga asing yang datang ke
Athena untuk kepentingan bisnis. Atau, Pericles yang menggambarkan demokrasi
dalam kehidupan negara-kota. Sebaliknya, ada pandangan Solon yang menganggap
demokrasi itu bisa menjadi gerombolan orang terbanyak yang memaksakan kehendak.
Xenophone dianggap orang yang berjasa
menyusun aturan-aturan ‘konstitusi’ Athena. Sementara Aristophane (390SM)
menguraikan sebuah komedi tentang hak-hak wanita dan penghapusan lembaga
perkawinan.
Namun
demikian, literatur teori politik banyak merujuk pada Plato dan
Aristoteles. Lahir sebagai keturunan aristocrat Athena, Plato mengemukakan cita
negara hukum. Ia mendirikan lembaga pendidikan bernama Academia, lembaga
yang kemudian berperan penting bagi perkembangan pemikiran politik di Athena.
Di sini pula Aristoteles berguru. Pemikiran Plato mengenai politik, hukum dan
kenegaraan dituangkan dalam buku Republic dan Nomoi. Plato berpandangan
seseorang harus hidup di negara yang baik, yaitu sebuah negara ideal. Tidak
mungkin ada orang baik kecuali di negara yang baik.
Aristoteles (384SM) mulai berpandangan lebih
realis. Ia menolak paham Plato tentang penghapusan hak milik dan lembaga
perkawinan. Ia juga menolak pandangan bahwa negara diibaratkan sebagai sebuah
keluarga. Negara yang dicita-citakan Aristoteles adalah pemerintahan berkonstitusi
dan tidak despotis, tidak terkecuali raja yang despotis. Hukum tetap menjadi
syarat penting di negara cita-cita. Di negara ideal harus ada persamaan antar
warga.
Pada masa Yunani Kuno, hak warga untuk ikut
terjun langsung menentukan nasib negara-kota memang sangat besar. Dalam
mengambil keputusan, warga dikumpulkan. Meskipun demikian, dalam praktek tetap
ada diskriminasi. Di dalam masyarakat dikenal kelas bangsawan dan budak.
Kelompok yang disebut terakhir tidak mempunyai hak politik.
C. Teori Negara Dunia
Kematian Aristoteles pada 322 SM dianggap sebagai
garis demokrasi perubahan filsafat politik. Perubahan itu juga didorong oleh
kegagalan sistem negara-kota. Athena yang begitu megah justru hancur melawan
Sparta. Batas-batas negara-kota semakin lama semakin hilang, ekspansi kekuasaan
terus bergerk dari satu negara ke negara lain. Sehingga terbentuk masyarakat
yang semakin banyak dengan wilayah yang kian meluas.
Sebaliknya, masa ini ditandai mulai munculnya
individualisme. Ikatan terhadap negara-kota meluntur. Warga Romawi bukan hanya
mereka yang tinggal di Roma, tetapi warga lain yang tinggal di daerah
penaklukan. Orang tidak lagi tunduk secara utuh kepada para pengelola polis.
Pemikiran politik yang berkembang adalah individu sebagai bagian umat manusia
yang memiliki hak-hak pribadi. Harga diri seseorang harus dihormati orang lain.
Sebaliknya, semua orang memiliki kodrat yang sama sebagai manusia.
Marsilius berpendapat negara terbentuk bukan
semata-mata karena kehendak Tuhan, tetapi juga karena ada perjanjian antara
individu-individu tadi untuk membentuk negara. Selain perjanjian membentuk
negara, warga juga membuat perjanjian menundukkan diri kepada penerima kuasa
pemerintahan (factum subjectionis).
Pada masa inilah lahir ajaran hukum alam (natural law),
termasuk Mazhab Stoa dan Scipio. Stoa mengajarkan ide tentang negara dunia,
keadilan alam dan kewarganegaraan universal.
Salah satu tokoh teori masyarakat dunia yang
hidup pada masa Romawi Kuno adalah Cicero (106-43 SM). Pernah bekerja sebagai
advokad, Cicero hidup ketika Alexander Agung mulai melebarkan sayap
kekuasaannya. Wilayah negara Romawi meluas melebihi wilayah asli karena
ekspansi ke daerah lain. Ia terkenal dengan ucapan “ubi societes ibi ius” (dimana
ada masyarakat di situ ada hukum). Negara yang sempurna menurut Cicero adalah
negara yang asas-asasnya berkembang mengikuti siklus Polybios. Negara akan
tetap eksis apabila setiap orang sadar akan kewajiban bersama dan menghargai
orang lain. Cicero banyak mempengaruhi sarjana hukum Romawi dan kelangan gereja
seperti Agustinus dan Lactantius. Tulisan para sarjana Romawi itu dikumpulkan
ke dalam Pandect pada abad pertama dan kedua masehi atas perintah Kaisar
Justinianus. Pada masa itulah dikenal tida macam hukum yaitu ius civile, isu
gentium, dan ius naturale.
Seneca (wafat 65 M) berpendapat bahwa alam merupakan
ukuran bagi kebajikan dan kepatuhan. Hidup pada masa pemerintahan Romawi
dihinggapi penyakit korup dan tirani, Seneca melihat sifat individualisme bisa
berdampak negatif. Ia mengharapkan orang-orang baik untuk mengurus negara.
Masyarakat unviersal dinilai Seneca lebih sebagai masyarakat pergaulan
ketimbang sebuah negara. Ikatan antar warga lebih merupakan ikatan moril dan
keagamaan ketimbangan ikatan hukum dan politik. Pemujaan Tuhan menurut Seneca
adalah kewajiban manusia. Agama makin mendapatkan tempat disamping negara.
Belakangan, pengaruh kalangan Gereja mulai
mencuat, St, Ambrosius dari Milan mengemukakan keyakinan tentang otonomi gereja
dalam urusan keagamaan, lepas dari negara. Gereja memiliki kekuasaan atas
seluruh umat Kristen, dinegra manapun mereka tinggal. Raja harus tunduk pada
gereja. St. Agustinus (354-430 M) menekankan perlunya persemakmuran Kristen
(Christian commonwealth). Manusia kata Augstinus adalah warga dari dua dunia sekaligus
: kota kelahirannya dan kota Tuhan (city of God). Gereja adalah mewakili
kerajaan Tuhan. St. Gregorius mengemukakan pemisahan agama dengan gereja
beserta hukum-hukumnya, sehingga melahirkan kodifikasi yang berbeda pula antara
Corpus Juris dan Corpus Juris Canonici.
Pengaruh kalangan Gereja terhadap pemikiran
politik semakin meluas dan berlangsung beberapa abad. Pertentangan antara
negara dengan Gereja semakin menguat dan meluas. Siapa sebenarnya membawahi
siapa, apakah kedudukan Paus lebih tinggi dari raja/kaisar, atau sebaliknya.
Pertentangan itu sangat kentara, misalnya antara Paus Gregorius dengan Raja
Hendrik IV (kontroversi investiture). Gregorius didukung kaum papalis yang
lebih menekankan aspek kerohanian, sementara kaum imperialis mendukung Hendrik.
Pemikiran negara universal juga ditandai
berdirinya sejumlah perguruan tinggi di Paris dan Oxford, yang membangkitkan
kembali tradisi ilmiah. Hukum-hukum Yunani dan Romawi dikaji. Tokohnya antara
lain John Salisbury yang menulis buku Policratius, Thomas yang
mengajarkan hubungan alam dan masyarakat, dan Dante Alleghieri tentang kerajaan
yang diciptakan (the idealized empire). Thomas membedakan jenis hukum abadi,
hukum alam, hukum ketuhanan, dan hukum kemanusiaan.
Raja Philip yang baik dan Puas Bonifacius
VIII mencoba mencari jalan tengah pertentangan pemikiran kaum papalis dan
imperialis. Batas-batas kewenangan raja/kaisar dengan Paus dibahas. Jalan
dialog itu ditempuh antara lain kearena merebaknya penolakan warga terhadap
wewenang Paus terhadap hukum-hukum yang berlaku di masyarakat. Sentimen
nasional menguat di berbagai penjuru di sebagian wilayah Eropa. Lalu munculnya
konsep sacerdotium dan Imperium yang menggambarkan kemerdekaan
raja di satu pihak dan Paus di pihak lain.
Toh, pertentangan kekuasaan terus terjadi
antara kedua kubu. Paus Johannes XXII berseteru dengan Raja Clement VI. Ada
upaya menolak kedudukan Paus sbagai penengah internasional. Deklarasi Rense
1338 menegaskan bahwa pemilihan kekaisaran tidak lagi memerlukan pengesahan
dari Paus. Marsilio dari Padua dan William dari Occam termasuk tokoh yang
mengkritik keras kepemimpinan paus. Menurut mereka, untuk mengurangi kewenangan
mutlak Puas yang mengatasnamakan Tuhan perlu dibentuk sebuah dewan umum.
Keputusan-keputusan penting harus diambil lewat dewan ini. Willian lebih tegas
lagi, menganggap teori kedaulatan Paus atas masyarakat sebagai bid’ah. Bagi
Marsilio, pemimpin-pemimpin keagamaan hanyalah salah satu bagian dari
kelas-kelas yang ada dalam masyarakat. Marsilio membedakan hukum Tuhan dan
hukum manusia. Negara adalah sekelompok manusia yang harus tunduk pada kedua
hukum itu. Hukum manusia ditentukan oleh mereka yang duduk di lembaga pembuat
undang-undang. Bagi keduanya, negara dianggap sebagai kekuasaan sedunia yang
harus diganti menjadi pusat kekuasaan yang tetap dan berdiri sendiri, terlepas
dari kekuasaan yang lebih tinggi seperti Gereja.
Wewenang Paus mengatur derma, penarikan
perkara dan pajak-pajak dipersoalkan. Penolakan yang semakin meluas atas
kedaulatan Paus, melahirkan gerakan reformasi di tiubuh Gereja. Wycliff di
Inggris dan John Hus di Bohemia mengajukan agenda pembaharuan terhadap
monopolistis, hierarkis dan kekuasaan mutlak Paus. Mereka mengajukan teori
pembaharuan konsili dalam hierarki pemerintahan Gereja.
D. Teori Negara Nasional
Gerakan pembaharuan Gereja pada abad XVI
melahirkanapa yang disebut Renaissance. Masa ini ditandai berkembangnya kembali
pemikrian Yunani Kuno, dan feodalisme Jerman yang menyanjung hak milik pribadi.
Sifat feodalisme berkembang hingga kedaerah-daerah. Akibatnya terjadi
perpecahan yang serius terutama di Italia.
Untuk mengatasi kekacauan tersebut Niccolo
Machiavelli (1469-1527) mengusulkan perlunya seorang raja yang bertangan besi.
Ia menuding kemerostan itu sebagai akibat dan harus dipertanggungjawabkan
Gereja. Karyanya yang terkenal Illegal logging Principle (Sang raja) dan
Discourses of First Ten Book of Titus Livius. Buku pertama membahas
pentingnya pemerintahan mutlak, sedangkan Discourses membahas perluasan
wilayah Roma. Bagi Machiavelli, untuk mempersatukan Roma yang bercerai berai
perlu kekuasaan absolut. Negara yang maju harus dimpimpin oleh seorang yang
kuat, seorang pembuat undang-undang yang berkuasa penuh, bertangan besi
(omnipotent). Machiavelli memuji sistem pemerintahan Perancis yang memusat.
Urusan kenegaraan harus dipisahkan dari kesusilaan.tujuan negara adalah
memperbesar kekuasaan. Tidak dipersoalkan bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Bagi Machiavelli, pemerintahan yang baik boleh membunuh, asalkan tidak
merampok.
Pada bagian lain, pembaharuan Gereja
melahirkan Protestanisme. Kegagalam pemimpin agama membangun negara melahirkan
pandangan bahwa Gereja tidak berjalan sendiri menguru pemerintahan. Reformasi
ala Protestan mencampuradukkan paham politik dan perbedaan agama.teori politik
dikuatkan melalui argumen keagamaan. Calvin dan Marthin Luther mengatakan bahwa
warga harus tunduk kepada raja. Melakukan perlawanan terhadap penguasa adalah
dosa. Tetapi John Knox, pengikut Calvin, beranggapan bahwa raja memperoleh
kekuasaannya bukan karena dia mewakili Tuhan, tetapi karena ia memperoleh
kekuasaannya melalui pemilihan. Raja harus bertanggungjawab karena rakyat yang
memilihnya.
Sepeninggalan Calvin, pertentangan keagamaan
semakin meluas ke Jerman, Belanda, Perancis dan Skotlandia. Perang saudara di
Perancis sepanjang 1562-1598 diwarnai pembunuhan toko agama St. Bartholomeuw.
Sebagian kaum Protestan melakukan perlawanan terhadap raja-raja yang berkuasa
mutlak. Menurut Francis Hotman, kekuasaan raja harus dibatasi, ia harus dipilih
rakyat. Semangat penentangan raja antara lain dituli Theodore Beza lewat buku Vindica
contra tyrannos (1979).
Nama Jean Bodin patut dicatat sebagai tokoh
teori nasional di Perancis. Hidup ditengah kecamuk perang saudara, Jean menulis
karya Six livre de la republique yang ‘membela’ raja. Ia menggagas
sebuah kedaulatan raja, lepas dari agama. Pandangan Jean melahirkan teori
kedaulatan dan benih-benih konstitusionalisme. Raja beradadi atas agama dan
partai politik. Jean menganjurkan agar dalam satu negara hidup beberapa agama.
Perlu ada toleransi dalam bernegara. Ia mengkritik Machiavelli sebagai seorang
tidak bermoral. Pandangan Aristotelesmengani negara-kota pun dia kritik sebagai
sesuatu yang tidak bisa diterapkan pada masyarakat modern. Warga boleh saja membentuk
kelompok (cite) berdasarkan ikatan kesusilaan atau ikatan sosial lain,
tetapi mereka harus tetap tunduk kepada raja nasional. Kedaulatan negara
menurut Jean tidak bisa dibatasi oleh manusia. Negaralah yang membuat,
menafsirkan danmenjalankan hukum. Yang membatasi kedaulatan negara hanya hukum
Tuhan. Sebab hukum kodrat berada diatas hukum buatan manusia. Ironisnya, ia
menghormati hak-hak privat warga. Sabine mengkritik Jean sebagai orang yang
terlalu percaya berlebihan terhadap konstitusi Perancis.
Pada awal abad ke-17 muncul gerakan
pembaharuan ajaran hukum alam. Kekuasaan raja tidak lagi pandang semata-mata
berasal dari alam atau Tuhan. Pemisahan urusan negara dan agama semakin
mengemuka. Pemikiran yang berkembanga adalah memberi tempat tersendiri kepada
Paus sebagai wakil Tuhan. Dalam konteksi ini patut dicatatnaman Johannes
althusius dan Grotius. Althusius adalah penganut paham anti-kerajaan.
Bergabungnya masyarakat membentuk negara merupakan kehendak alam. Atas kehendak
alam, masyarakat membentuk apa yang diseut consociation. Dengan adanya
perjanjian antar individu terbentuklah hubungansimbiosis, saling
ketergantungan. Negara terbentuk dari kelompok-kelompok yang sudah mengikat
janji secara simbiotis itu. Negara sepenuhnya berdaulat, sebab kedaulatan
itulah yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya.
Tetapi Grotius membedakan kedaulatan umum dan
kedaulatan khusus. Kedaulatan umum dipegang oleh negara, sedangkan kedaulatan
khusus dimiliki individu. Kekuasaan politik berada tergantung pada kedaulatan
rakyat (individu). Grotius mengkaji hubungan antar negara, sebagaimana filsafat
kerja sama antar negara yang dikembangkan Sir Thomas More di Inggris pada masa
perang saudara di sana (1640).
Thomas Hobbes (1588-1679) adalah pemikir asal
Inggris yang hidup pada masa pemerintahan absolute Raja Charles I dan Charles
II. Penulis buku Leviahan (negara) dan de Cive (warga negara).
Pada saat yang sama Perancis dan Spanyol pun dipimpin raja absolut. Sistem
pemerintahan inilah yang dia bela. Hobbes beralasan bahwa jika dibiarkan begitu
saja sifat individualisme manusia akan lebih mengemuka. Jika tidak dikendalikan
oleh penguasa yang kuat, manusia akan selalu bermusuhan, menganggap orang lain
sebagai lawan. Keadaan demikian akan melahirkan chaos, yang disebut bellum
omnium contra omnes. Agar hubungan antar individu berlansung damai, maka
harus dibuat perjanjian masyarakat. Dalam perjanjian itu ditunjuk seorang
pemimpin yang kuat, yang haru dipatuhi bersama.
John Locke, pemikir Inggris lainnya,
meneruskan pandangan tentang perjanjian masyarkat. Bukunya Two Treaties on
Civil Government menggambarkan pandangan tersebut. Namun ia mengatakan
bahwa dalam perjanjian itu tida semua hak individu diserahkan kepada
masyarakat. Manusia tetap memiliki hak alamiah. Pemerintahan, yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat, memeiliki kekuasaan yang terbatas. Negara membuat
hukum dan peraturan berdasarkan hukum alam. Ia membedakan negara monarki
(apabila kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada satu orang),
aristokrasi (diserahkan kepada beberapa orang), dan demokrasi (diserahkan
kepada rakyat, pemerintah hanya menjalankan).
Pada abad XVIII pandangan hukum alam mulai
memudar terutama di Perancis. Sabine mencatat pemikiran sejumlah sarjana pada
fase ini seperti Montesqieu yang mengajarkan pembagian kekuasaan, sosiologi dan
kebebasan, serta hukum dan lingkungan. Ada juga Voltaire yang menggagas
kebebasan individu. Atau, Helvetius yang membahas bangkitnya utilitarianisme
Perancis. Pada masa JJ Rousseau, teori hukum alam semakin ditinggalkan. Logika
semakin kuat dimana mencuat juak kehendak umum. Ia mengembangkanteori kontrak
sosial. Masyarakat memiliki hak melengserkan penguasa. David hume kemudian
mengembangkan berdasarkan rasio, fakta dan nilai.
Hegel mengembangkan dialektika nasionalisme,
sedangkan Marx menggagas dialektika materialisme. Hegel mneyetujui pemerintahan
konstitusional. Menurut dia, kekuasaan negara adalah mutlak, akan tetapi tidak
boleh despotis. Kewarganegaraan bebas ditetapkan berdasarkan fungsi-fungsi
sosial, bukan atas dasar hak pribadi.
Menurut Marx, negara adalah penjelmaan dari
pertentangan kekuatan ekonomi. Negara dipergunakan kelompok yang kuat untuk
menindas kelompok yang secara ekonomis lemah (instrument of coercion). Negara
akan hilang jika didalam masyarakat tidak lagi ada kelas-kelas. Bagi kelompok
pendukung fasisme, untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat maka kaum
kapitasi ekonomi harus dilenyapkan.
Pengaruh Perkembangan Political Theory Terhadap Teori Hukum
A. Teori Politik dan Hukum
Kebanyakan istilah yang lazim digunakandalam studi
politik dan ketatanegaraan seperti tirani, aristokrat, politik, demokrasi,
oligarki, monarki dan plutokrasi berasaldari bahasa Yunani. Dalam literatur,
Yunani Kuno dan Romawi Kuno dipandang sebagai asal muasal pembahasan mengenai
politik dan kenegaraan. Pandangan para sarjana pada masa itu dijadikan sebagai
rujukan dalam mengkaji sejarah politik atau pemikiran politik.
Itu pula yang digambarkan oleh George H.
Sabine lewat buku A History of Political Theory ini. Ia menggambarkan
perkembangan teori-teori politik yang berkembangan mulai zaman Yunani Kuno
hingga munculnya fasisme dan nasionalisme sosialis. Sebagai sebuah kajian
sejaran, Sabine menguraikan kajiannya secara runut mulai abad kelima Sebelum
Masehi hingga mejelang Perang Dunia I. Pemikiran-pemikiran yang berkembang
sepanjang periode itu dikaji lewat sudut pandang politik.
Politik dipahami banyak orang awam sebagai
sesuatu yang kotor atau penuh kebohongan. Politik juga sering diidentikkan
dengan masuk partai atau duduk di parlemen. Berdasarkan asal katanya, politik
merujuk pada kata polis bahasa Yunani, yang dalam pengertian umum
disebut kota (city). Meskipun berbicara mengenai politk selalu merujuk pada
kehidupan bersama, fokus perhatian politik adalah peristiwa sehar-hari di bawah
pimpinan dari suatu penguasa yang mengawasi peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam masyarakat. Penguasa itu merupakan badan hukum berbentuk negara (state).
Jadi, kegiatan politik adalah kegiatan masyarakat yang dilaksanakan dibawah kekuasaan
negara.1
Salah satu bagian yang dibahas dalam ilmu
politik adalah teori politik. Teori politik merupakan kajian mengenai konsep
penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala
konsekwensinya. Dalam teori politik dibahas antara lain filsafat politik,
konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan,
legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik dan
perbandingan politik.
Materi pembahasan di atas membuat politk
bersinggungan dengan hukum, terutama hukum ketatanegaraan. Seorang ahli hukum
melihat negara semata-mata sebagai lembaga atau organisasi hukum, suatu badan
hukum. Ahli politik melihat negara lebih dari sekedar lembaga atau asosiasi.
Negara adalah sekelompok manusia yang bertindak untuk mencapai beberapa tujuan
bersama. Dalam masyarakatterdapat beberapa asosiasi. Perbedaan antara engara
dengan asosiasi lainnya adalah bahwa negara mempunyai wewenang untuk
mengendalikan masyarakat. Pengendalian itu dilakukan lewat hukum atau perundang-undangan.
Ilmu hukum sifatnya normatif dan selalu mencoba mencari unsur keadilan. Aliran
ini kuat sekali pengaruhnya dalam dasar legal negara, seluruh struktur dan
fungsu negara ditetapkan melalui hukum.2
Meskipun sama-sama menjadikan negara sebagai
objek kajian, politik dipandang sebagai ilmu yang melihat negara lebih dinamis
karena mengkaji aktivitas dan kegiatan negara, hukum (ilmu negara) lebih
menekankan aspek statis dari negara. Pandangan lain menganggap politik lebih
menekankan pembahasan negara dengan segala realitasnya, sedangkan ilmu hukum
lebih mementingkan sisi normatifnya.3
George H. Sabine memasukkan teori politik
yang dia tulis sebagai bagian dari politik. Secara sederhana teori politk
didefenisikan Sabine sebagai “man’s attempts to consciously understand and
solve the problems of his group life and organization”. Oleh karena itu,
teori politk merupakan tradisi intelektual dan sejarahnya teridir dari evolusi
pemikiran manusia mengenai masalah-masalah politik sepanjang masa.4
Menurut Miriam Budiardjo, teori politik
adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan
kata lain, teori politk membahas: (i) tujuan dari kegiatan politik, (ii)
cara-cara mencapai tujuan itu, (iii) kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan
situasi politik tertentu, dan (iv) kewajiaban yang timbul akibat tujuan politik
tersebut. Konsep yang dibahas dalam teori politk mencakup antara lain
masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban,
lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politk dan sebagainya.5
Sebagai sebuah kajian yang dinamis, teori
politik yang dipaparkan george H. Sabine menyajikan fase-fase perkembangan
teori politik. Ia membaginnya ke dalam tiga fase: ajaran negara-kota (city-state),
negara dunis (universal community), dan negara nasional (national
state).
Menurut Sabine, pembahasan teori politik
tidak bisa dipisahkan dari konsep negara-kota. Pada tahap negara kota di Yunani
Kuno, jumlah warga masih sedikit sehingga mudah dikumpulkan. Warga bersama-sama
membicarakan masalah bersama melalui majelis bernama Ecclesia. Inilah
yang menjadi institusi politik bagi warga negara. Tetapi tidak semua warga bisa
memiliki hak suara, misalnya kaum budak.
Pada masa Yunani Kuno pengertian negara,
pemerintah dan masyarakat masuk sulit dibedakan. Sebab, suasana yang disebut
negara tersebut masih sangat sederhana, luas wilayah dan jumlah penduduk belum
sebanyak sekarang. Yunani Kuno terdiri dari sejumlah polits atau berbentuk
sebuah negara-kota. Urusan kenegaraanpun masih sangat sederhana. Bentuk negara
dibedakan atas jumlah penguasanya. Jika kekuasaan dipegang oleh satu orang
disebut monarki, jika beberapa orang disebut oligarki, dan kekuasaan yang
dipegang rakyat disebut demokrasi.
Ada dua hal yang mendorong berkembangnya
fungsi dan masalah-masalah hukum dimasyarakat Yunani Kuno. Pertama, kekacauan
masyarakat, pertentangan di dalam negeri, penggantian yang sering terjadi, dan
perlakuan sewenang-wenang. Ini melahirkan pemikiran tentang pentingnya hukum
yang lebih tinggi. Kedua, bakat istimewa bangsa Yunani untuk memperoleh suatu
pengertian baik karena renungan maupun karena kecerdasan intelektual ikut
memberi andil berkembangnya filsafat hukum dengan sejumlah pemikirnya.6
Cukup banyak literatur yang membahas teori
politik pada zaman yunani dan Romawi Kuno. Tetapi masih terdapat perbedaan
bagaimana mengidentifikasi praktek politk di abad kelima Sebelum Masehi itu.
Ada yang ingin ‘politik’ ditafsirkan dan dipandang secara ketat sesuai dengan
pandangan sekarang. Ada pula yang mencoba realistis, sulit memisahkan secara
mutlak politik dan ekonomi dalam perkembangan masyarakat.
B. Kedaulatan Negara
Pembahasan mengenai teori politik bersinggungan
dengan kapan munculnya negara dan kapan negara memiliki kedaulatan. Pada masa
negara-kota, kedaulatan berasal dari rakyat kebanyakan secara langsung. Warga
biasa berkumpul membicarakan masalah kenegaraan. Perkumpulan warga itu identik
dengan negara, atau sebaliknya. Kedaulatan adalah kekuasaan negara yang
tertinggi. Kekuasaan disini berarti mampu memaksakan kehendak kepada pihak
lain. Kedaulatan adalah unsur pembeda antara negara dengan kelompok-kelompok
masyarakat lainnya. Bagi Harold J. Laski, negara adalah lembaga yang memiliki
otoritas koersif yang kekuasaannya berlaku terhadap setiap individu dalam
masyarakat.
Kedaulatan berasal dari pembentukan negara
itu sendiri. Kapan pembentuk negara memiliki kedaulatan merupakan soal
kenyataan. Bagi kaum, kalau faktanya pembentuk negara memiliki kedaulatan
negara, itu berarti pembentuk negara mampu menentukan hukum dan
melaksanakannya. Kedaulatan lahir bersama munculnya negara.7
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa pemegang
kendali kedaulatan itu. Berdasarkan sejarah pemikiran politik yang berkembang,
ada empat teori yang dikemukakan sebagai jawaban.8
·
Kelompok menganggap kedaulatan itu berasal dari
dan merupakan milik Tuhan. Teori ini berkembang pada masa kalangan gereja
memegang kendali atas pemerintahan di kawasan Eropa pada abd ke-V sampai ke-XV.
Dalam pandangan mereka, raja adalah wakil tuhan di muka bumi.
·
Kelompok yang menganggap kedaulatan itu milik
negara. Menurut jean Bodin dan George Jellinek, negaralah yang menciptakan
hukum.
·
Kelompok yang mengedepankan kedaulatan hukum (rechtssouvereiteit)
dari H. Krabbe, von Savigny.
·
Kelompok yang mengganggap kedaulatan berasal
dari rakyat seperti digagas oleh JJ Rousseau.
Pada masa Yunani Kuno, kedaulatan
itu diberikan melalui musyawrah langsung oleh seluruh warga yang punya hak.
Dalam musyawarah itulah ditentukan siapa yang akan memegang kedaulatan. Menurut
Plato, negara timbul karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang
beraneka ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama. Tujuan negara
adalah mencapai apa yang ada di dalam ide, suatu tujuan yang hanya bisa dicapai
oleh orang-orang filsafat saja. Plato memang mengembangkan ajaran alam cita (ideenleer)
]
Pada masa Romawi Kuno, pengertian
negara monarki, aristokrasi dan demokrasi berkembang seiring meluasnya wilayah ekspansi dan jumlah
penduduk. Ajaran Kristen membawa pandangan baru yang menjadikan manusia sebagai
bagian dari masyarakat internasional. Dalam masyarakat universal, kedudukan
manusia sederajat. Mereka dipimpin oleh Paus atau kaisar, yang mendapat
kekuasaan dan kedaulatan dari Tuhan. Belakangan, raja tidak lagi penguasa tunggal.
Lembaga perwakilan mulai dibentuk karena semakin sulitnya melaksanakan
demokrasi langsung. Kekuasaan raja hanya untuk lapangan tertentu saja (omni-potent).
Bahkan di Eropa Bara, raja tidak lagi berkuasa untuk pemerintahan, melainkan
sekedar simbol negara. Raja atau kaisar tak lagi ditunjuk berdasarkan garis
keurunan mutlak, melainkan ditunjuk oleh rakyat melalui lembaga perwakilan.
Perlunya perjanjian antar
individu dalam masyarakat untuk membentuk negara juga berkembang pada masa
teori negara nasional. Thomas Hobbes mengemukakankekhawatiran sifat manusia
yang saling bermusuhan, bisa menimbulkan chaos. Untuk menghindari keadaan yang
lebih buruk, warga membuat perjanjian masyarakat. Lewat perjanjian itulah
masyarakat memberikan kedaulatan kepada penguasa.
Lewat perjanjian sosial pula
orang-orang hidup damai dalam suasana saling menghormati (factum uniones). Setelah
bersatu, mereka menundukkan diri atau taat kepada pemegang kekuasaan (factu
subjectiones). Bagi Grotius, kontrak sosial itu membawa pengaruh yang lebih
luas lagi. Bukan hanya mengikat secara intern, tetapi juga menjadi dasar yang
megnikat secara hukum dalam hubungan internasional antar negara. Menurut
Grotius, konstitusi suatu negara didahului oleh suatu kontrak sosial.
Melalui ajaran trias politika,
Montesquieu mengusulkan perlunya pemisahan kekuasaan negara ke dalam tangan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan itu bertujuan
menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang
penguasa. Dengan kata lain, tidak membeikan kemungkinan munculnya sistem
pemerintahan absolut.
Pada masa teori masyrakat
universal, kedaulatan yang dipegang penguasa dianggap berasal dari alam atau
tuhan. Kekuasaan itu berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi: alam atau
tuhan.paus adalah wakil tuhan di muka bumi,sehingga bisa mengurus
masalah-masalah kenegaraan. Penguasa haarus tunduk pada pemegang kekuasaan
tertinggi.tapi pandangan ini dkritik Jean Bodin, yang menganggap kekuasaan itu
ada, maka atidak boleh ada kekuasaan lain yang menyamai atau melebihi. Dalam
praktek, kekuasaan mutlak paus memang menimbulkan gesekan dan pertentangan.
Pada masa teori masyrakat universal, pertentangan anatara kalangan negerawan
dengan agamawan begitu kencang. Masyrakat terbelah ke dalam kelompok yang mendukung
kaisar atau raja.
Kalangan agamawan berusaha
melakukan pembaruan pandangan mereka mengenai hirarki
pemerintahan.keterlibaatan paus dalam mengurus negara ditinjau
ulang.pengaruhnya meluas bukan hanya di Roma, tetapi juga ke Inggris dan
Perancis. Willian dari Occam misalnya mengajukan pandangan bahwa negara modern
ditandai hirarki perundang-undangan. Pertama,peraturan –peraturan universal
mengenai prilaku yang didiktekan oleh akal. Kedua, peraturan yang akan diterima
sebagai peraturan yang rasional, dan oleh karenanya mengikat dalam masyarakat,
yang diatur oleh keadilan alam tanpa hukum positif. Ketiga,peraturan yang
dideduksikan dari prinsip-prinsip umum hukum alam, tetapi tidak bersifat
fundamental. Ini bisa diubah oleh penguasa.
Pertanyaan mendasar mengenai
negara dan kedaulatan adalah darimana sumber kekuasaan,siapa pemegang
kekuasaan, dan siapa yang mengesahkan kekuasaan itu.
Kalangan pendukung aliran
teokrasi pada abad V sampai abad XV seperti Agustinus, Thomas Aquinas,
Marsilius menganggap kedaulatan itu berasal dari tuhan. Kaum pendukung hukum
alam menganggap kedaulatan berasal dari rakyat. Rakyat memperolehnya dari
alam,bukan dari tuhan.kekuasaan yang ada di tangan rakyat diserahkan kepada
kaisar atau raja. Ada yang melalui perjanjian masyrakat (JJ Rousseau) ada yang
melalui perjanjian langsung individu dengan raja (Thomas Hobbes).
C. Hukum dan Konstitusi
Pada masa yunani kuno,konstitusi dalam pengertian
zaman sekarang belum dikenal.tetapi dalam arti yang sederhana sudah muncul
konstitusi ethena, yang dianggap sebagai tulisan xenophone. Istilah konstitusi
baru muncul pada masa romawi. Meskipun demikian,maksud yang setara dengan
konstitusi bisa dirujuk pada nomoi karya Plato, yaitu pada kalimat “our whole
state is an imitation of the best and noblest life”. Atau Socrates yang menulis
tentang politea sebagai “the soul of polis with power over it like that of the
mind ovear the body”. Aristoteles menyebut tentang “in a sense the life of the
city”. Tujuan tertinggi negara menurut Aristoteles adalah ‘a good life’. Mereka
dianggap sudah menunjuk kepada pengertian konstitusi.9
Masalah konstitusi disinggung dalam buklu pilitics
karya Aristoteles. ba ginya,konstitusi adalah aturan-atauran terbaik yang
diberlakukan di suatu negara. Semua konstitusi yang mempertimbangkan kebaikan
bersama adalah konstitusi yang bai. Bagi Plato, satu-satunya yang layak
menyandang predikat konstitusi adalah konstitusi yang dikuasai oleh pengetahuan
raja atau negarawan yang ideal.
Menurut Aristotels, klasifikasi konstitusi
tergantung pada (i) the end of pursued by states; dan (ii) the kind od
authority exercised by their government. Karena tujuan negara adalah kehidupan
yang baik (good life),maka Aristoteles membedakan konstitusi yang baik dan
konstitusi yang buruk. Konstitusi yang hanya diarahkan untuk memenuhi
kepentingan penguasa adalah wrong constitution.10
Kedaulatan memberikan ruang pada
konstitusionalisme. Pemegang kedaulatan menyusun peraturan –peraturan dasar
bernegara, literatur teori politik membagi konstitusionalisme itu ke dalam
aliran hukum murni ala John Austin, dan doktrin kehendak umum versi Rousseau.
Dinegara konstitusional, orang hanya patuh pada
otoritas yang mendapatkan legitimasi lewat konstitusi dan menerima konstitusi
itu sebagai sumber kepatuhan bagi warga. Oleh karena itu dinegara
konstitusional, konstitusi merupakan kedaulatan itu sendiri.11 pada masa Cicero di era Romawi Kuno,
misalnya, konstitusi mulai dipandang sebagai aturan (lex) yang berbeda di luar
dan bahkan di atas negara.
Konstitusi selalu ditemukan pada pemerintahan yang
menganut sistem negara hukum dan demokrasi, konstitusi merupakan hukum dasar
bagi suatu negara,sehingga isinya berupa aturan-aturan pokok saja. Hans Kelsen
berpandanagan bahwa pembentukan aturan hukum suatu negara harus selalu mengacu
kepada aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum dasar tersebut. Mengikuti
pandangan Monstequie, konstitusi mengatur pembagian kekuasaan ke dalam
genggaman legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sejalan dengan perkembangan demokrasi, konstitusi
negara menjadi pegangan yang sangat kuat bagi masyarakat. Hukum bertentangan
dengan konsatitusi bisa dibatalkan. Adakalanya, konstitusi membuat aturan
sendiri yang mempersulit kemungkinan amandemen. Revisi terhadap konstitusi dan
substansi yang diaturnya sangat tergantung pada peristiwa kenegaraan tang
terjadi sepanjang sejarah. Ada beragam cara dan mekanisme perubahan konstitusi
di dunia dengan taingkat kesulitan yang berbeda-beda.12
Hukum dan konstitusi umumnya membatasi kekuasaan
penguasa. Bila pada masa-masa awal,kekuasaan cendrung absolute, maka dalam
praktek negara demokrasi modern, kekuasaan itu dibatasi. Maurice Duverger
mengajukan tiga cara untuk membatasi kekuasaan itu secara langsung. Misalnya
ditentukan dalam pemilihan kepala negara secara langsung (ala negara kota),
pembagian kekuasaan (montesquieu), dan pembatasan jurisdiksi. Kedua, membatasai
kekuasaan penguasa dengan cara menambah atau memperkuat kekuasaan pihak yang
diperintah. Kapabilitas dan kapasitas rakyat untuk menolak penguasa diperkuat,
bisa saja dicantumkan lewat perundang-undangan. Ketiga, mengendalikan kezaliman
penguasa suatu negara melalui intervensi pihak ketiga. Ada campur tangan
masyarakat atau negara lain untuk menurunkan penguasa zalim tersebut. Cara
seperti ini yang menjadi dalil Amerika Serikat menyerang Irak.
D. Demokrasi
Demokrasi adalah praktek yang berkembang sejalan
dengan dinamika politik. Hakekat demokrasi adalah pemerintahan rakyat, sesuai
dengan arti kata demos dan cratien.dalam demokrasi, rakyat diikutsertakan dalam
urusan kenegaraan.
Pada masa yunani,seperti
diuraikan terdahulu,sebagian besar rakyat ikut menentukan kebijakan termasuk
memilih pemimpin negara – kota. Yunani Kuno bukanlah suatu negara dalam
pengertian modern dimana semua orang Yunani hidup di suatu negara dengan satu
pemerintahan. Mereka justru hidup di sejumlah polis yang masing-masing berdiri
sendiri. Pada masa itu diterapkan demokrasi langsung. Sistem pemerintahan
kerakaytan ala negara kota di Athena berlangsung selama lebih dari dua abad,
sampai kota itu ditaklukkan oleh negara tetangganya. Di sinilah kemungkinan
pertama kali munculnya istilah demokarasi13.
pada waktu yang tidak jauh berbeda, di romawi diterapkan sistem republik, yang
secara harfiah berarti sesuatu yang menjadi milik rakyat (res dan publicus).14
Lambat laun, demokrsi semacam itu
sulit diterapkan karena pertambangan jumlah penduduk dan peluasan wilayah.
Sulit mengumpulkan seluruh warga di suatu tempat. Maka lahirnya sistem
perwakilan. Pada masa masyarakat universal di abad pertengahan, yang dipakai
adalah demokrasi perwakilan. Lembaga perwakilan mulai mengimbangi-sekaligus
mengurangi kekuasaan kaisar atau raja. Negara-negara barat menerapkan demokrasi
perwakilan.
Demkrasi telah menjadi pilihan
sistem pemerintahan di berbagai penjuru dunia. Robert A. Dahl mencatat,
pemerintahan demokrasi dengan berbagai tingkatan terdapat-terdapat pada kurang
dari separuh negara di dunia pada akhir 1920-an. Dalam realitasnya,
perkembangan demokrasi diikuti pula oleh gerakan anti demokrasi melalui paham
nasionalisme fanatik dan fundamentalisme agama.15
Bahkan dalam praktek yang lebih modern, praktek demokrasi masih menghadapi
hambatan yang menakutkan dalam menegakkan aturan hukum dan membentuk jaminan
yang kokoh terhadap hak asasi manusia.16
Pada masa 1922, ada 29 negara
dari 69 negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.jumlahnya
terus meningkat hingga abad ke 20. pada tahun 1990, tercatat 58 dari 129 negara
yang menganut sistem demokrasi, yang berarti setara dengan 45 persen dari
jumlah total negara yang ada. (lihat tabel)
Tabel Demokratisasi di Dunia Modern
Tahun
|
Demokrasi
|
Non-demokrasi
|
Jumlah negara
|
Persentase
|
1922
|
29
|
35
|
69
|
45,3
|
1942
|
12
|
49
|
61
|
19,7
|
1963
|
36
|
75
|
111
|
32,4
|
1973
|
30
|
92
|
122
|
24,6
|
1990
|
58
|
71
|
129
|
45,0
|
Pasang surut pemberlakuan sistem
demokrasi dengan segala variasinya disebut samuel huntington sebagai gelombang
demokrasi. Huntington memaparkan gelombang demokrasi abad modern yang terjadi
pada abad ke 20 ia menggunakan kata modern untuk membedakan praktek demokrasi
yang dikenal pada masa Yunani Kuno dan abad pertengahan. Demokrasi yang meluas
di kawasan Eropa, Asia dan Amerika Latin secara serentak sejak 1974 disebut
Huntington sebagai gelombang demokrasi ketiga.17
Dengan demikian,demokrasi
berkembang dengan berbagai variannya mulai dari pengertian yang sangat
sederhana, hingga dalam pengertian modern.kaum komunis di Sovyet dan Eropa
Timur menggunakan sebutan demokrasi proletar atau demokrasi rakyat, meskipun
masyarakata Eropa Barat menganggap itu bukan sebagai demokrasi. Pada permulaan
abad ke 19 demokrasi yang diterapkan di sejumlah negara banyak bersinggungan
dengan masalah-masalah ekonomi, sebagaimana kemudian dikembangkan Lenin, hegel,
John Stuart Mill. Lenin misalnya terkenal dengan pandangannya bahwa negara akan
lenyap sama sekali jika masyarakat sudah menerima prinsip setiap orang bekerja
menurut kesanggupannya dan setiap orang menerima sesuai kebutuhannya, pengikut
Lenin seperti Stalin dan Kruschev menambahkan bahwa sistem ekonomi harus
berdasarkan prinsip distribusi sesuai kebutuhan, dan prinsip pengakhiran
kapitalisme.
E. Negara dan Demokrasi Ekonomi
Periode teori negra nasional ditandai bangkitnya
perekonomian dunia setelah revolusi industri di Inggris.paham kebebasan
individu berkembang. Manusia membentuk negara melalui perjanjian masyarakat
dengan jaminan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Pada abad kesembilan belas,
pemikiran tentang hukum terfokus pada tiga hal: nasionalisme, materialisme, dan
pandangan ilmiah. Pemikiran yang dikembangnkan Von Savigny dan Hegel langsung merujuk
kepada kepercayaan mutlak bahwa negara sebagai pelindung. Materialisme
menumbuhkan keyakinan atas kemampuan menyelamatkan manusia melalui kemajuan
ekonomi. Dalam konteks ini muncullah dialektika materialisme Marx dan Lenin. Di
negara liberal muncul John Stuart Mill, Adam Smith, dan Herbert Spencer.
Pandangan ilmiah tentang hukum berakhir dalam formalisme ilmiah yang kaku,
yaitu analitycal jurisprudence.18
Seiring dengan revolusi industri,
pengertian demokrasi pun bergeser. Joseph Schumpeter (Capitalism, Socialism,
and Democracy) mengatakan bahwa metode demokrasi adalah prosedur kelembagaan
untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan
untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh
suara rakyat.
Kaum dialektis berpendapat bahwa
dalam masyarakat pasti ada konflik antar individu,kelas atau antar warga
negara.konflik, antagonisme atau kontradiksi merupakan kondisi yang diperlukan
untuk melakukan perubahan sosial. Hegel, misalnya, percaya bahwa pandangan
tentang dunia atau negara pastilah kontradiktif karena dunia juga mengandung
kontradiksi-kontradiksi. Hegel dan Marx melukiskan dialektika masyarakat ke
dalam tiga tahapan.menurut mereka,masyarakat bermula dari komunitas primitif
yang homogen, individu-individu pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain.
Pada tahap berikutnya, muncul tahap alienasi atau yang oleh Marx disebut
kemunculan masyarakat kelas. Fase ini ditandai meningkatnya
individualisme,sehingga bisa menimbulkan disintegrasi. Pada tahap ketiga, harus
dilakukan negasi dari negasi dengan cara menyeimbangkan masyarakat tanpa
menghilangkan hak individu.19
Dengan pengertian kompetisi di
alam demokrasi, para individu dalam negara saling bersaing mendapatkan
kekuasaan dari rakyat. Paham liberalisme dan kapitalisme menganggap, yang akan
mendapatkan kekuasaan itu adalah orang-orang yang memegang atau mengendalikan
kapital (modal). Dengan menguasai sektor-sektor perekonomian,maka kaum
kapitalis bisa menguasai negara.
Sebagai reaksi terhadap kapitalisme,muncul
benih-benih komunisme, sosialisme dan fasisme. Komunisme menitikberatkan bahwa
penguasa negara yang lebih besar atas aset-aset. Fasisme dipahami sebagai
ideologi yang menggunakan kekuasaan absolut. fasisme sering dipandang sebagai
nasionalisme yang sangat fanatik, yang kemudian dipakai juga istilah
ultranasionalisme. Fasisme pernah dianut semasa Mussollini di Italia atau
nasionalisme sosialis ala hitler di Jerman. Kedua paham ini dapat dilacak
kepada pemikiran Dante Alleghieri atau Marthin Luther. Menurut Sabine, fasisme di Italia dan
nasionalisme sosial di Jerman melahirkan rezim sosialis yang diadaptasikan
kepada tujuan-tujuan negara nasional. Kekuasaan mereka peroleh melalui
persekutuan partai sosialis dengan partai nasionalis.
Karl Marx, salah seorang tokoh
paham ini, menganggap negara sebagai wujud pertentangan kekuatan ekonomi.
Kapitalisme tak dapat dibiarkan kerena dipakai sebagai alat mengeksploitasi
kaum buruh. Buruh sebagai kelas ekonomi lemah, akan selalu ditindas oleh kaum
kapitalis. Oleh karena itu, kaum buruh atau proletariat harus mengambil alih
kekuasaan. Kelas-kelas dalam masyarakat harus dihapuskan.
Padangan Marxis tentang konflik
kelas membawa implikasi yang lebih mendasar bagi sistem sosial ketimbang teori
yang membatasi pada jenis konflik kelompok. Menurut Marx, pemegang kekuasaan
negara (pemerintah) hanya melayani kepentingan kelas penguasa (the ruling
class). Kaum Marxis menghendaki peran pemerintah yang lebih kuat dan aktif
dalam urusan sosial dan ekonomi.tetapi akibat adanya perlawanan dari kaum
bermodal, pemerintah tidak mampu melaksanakan peraturan antikapitalis yang
tegas.20
Kaum Marxis sepakat harus ada
persamaan. Persamaan ekonomi mensyaratkan dua perubahan lainnya, yaitu
demokrasi dalam hubungan perindustrian, dan nasionalisasi bisnis industri besar
dan perusahaan dagang.bagi pendukung marxisme dan komunisme, nasionalisme dapat
dibenarkan karena berbagai alasan. Petama,sungguh tidak adil jika keuntungan
yang dihasilkan masyrakat pekerja justru hanya dinikmati segelintir pemilik
modal. Keuntungan itu harus didistribusikan kepada seluruh warga, karena
seluruh warga adalah penghuni bersama sebuah warga. Kedua, pemilikan pribadi
atas alat-alat produksi mempengaruhi kebebasan. Harold J. Laski mengatakan
bahwa pemilikan pribadi atas alat-alat produksi tidak sesuai dengan pranata
demokrasi. Ketiga, nasionalisasi industri diperlukan untuk mencapai demokrasi
karena akan mengurangi pertentangan dan memajukan kerja sama antar sesama
pelaku industri, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas.21
Revolusi industri
liberalisme,dialektika nasionalisme ala Hegel, dialektika materialisme ala
Marx, komunisme,fasisme dan sosialisme nasional merupakan pemikiran politik
terbaru yang dipaparkan Sabine pada fase negara nasional. Revolusi industri
telah melahirkan kaum kapitalis yang sangat berpengaruh dalam kehidupan negara.
kehidupan perekonomian negara diserahkan kepada pasar bebas. Asas laissez faire
faire laissez alle bukan saja dipakai dalam praktek ekonomi, tetapi juga dalam
aturan-aturan hukum bernegara.
Liberalisme menjunjung tinggi
kebebasan individu. setiap individu memiliki keinginan yang berbeda. Menurut
Jeremy Bentham (1748-1832), negara harus memberikan manfaat yang
sebesar-besanya kepada warganya. Legislator harus membuat hukum yang adil bagi
anggota masyarakat secara individual.
Paham individualisme yang
diagung-agungkan di Eropa dan Amerika dikritik oleh pemikir asal jerman. Hegel.
Paham tersebut seolah-olah mencerabut individu dari akarnya di masyarakat.
Individu yang semacam itu bisa dikendalikan nafsu jahat. Individualisme dinilai
Hegel sebagai penyebab kegagalan Jerman untuk mencapai negara nasional yang
modern. Sebab, paham tersebut melahirkan provinsialisme dan partikularisme.
Bagi Hegel, individu tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Bentuk tertinggi
dari negara bagi seoarang individu tidak hanya menjadi protestan, tetapi juga
seorang (keturunan) bangsa Jerman.paham inilah yang kemudian disalahgunakan
oleh Hitler dengan konsep keunggulan ras aria –nya. Sebenarnya, Hegel ingin
menyelaraskan moral dan agama asalkan bisa ditemukan logika sitesisnya.
Filsafat Hegel pada pokonya ingin mengadakan suatu rekonstruksi yang lengkap
dari pikiran modern (metode historis).menurut Hegel, eksistensi negara nasional
dijamin oleh pemikiran dialektis.
Meskipun ada bebagai bentuk
pemikiran atau teori politik yang berkembang, tujuannya tetap sama: mengukuhkan
negara nasional. Menurut kaum liberal, negara nasional kuat bila menghargai
hak-hak warga masyarakat. Sementara, kaum komunis memberikan sebagian haknya
kepada negara agar bisa meminimalisir perbedaan dan perpecahan.
DAFTAR PUSTAKA
Christopher
Rowe dan Malcolm Schoield (ed), The
Cambridge History of Greek and Roman Political (Sejarah Pemikiran Politik
Yunani dan Romawi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
George H.
Sabine, A History of Political
Theory, 4th ed. Illinois: Dryden
Press, 1973
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jendral
Mahkamah Konstitusi, 2005
Jon Elster, Karl Marx, Marxisme – Analisis
Kritis (An Introduction to Karl Marx), Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2000
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar ilmu politik,
Jakarta: Gramedia, 1988
Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, 1988.
R.H. Soltau, Ilmu Politik (An Introduction to
Politics), Jakarta: Ary Study Club, 1971
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah
Teori Dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (On Democracy), Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam
Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, 2005
Satya Arinanto, “Politik Pembangunan Hukum
Nasional Dalam Era Pasca Reformasi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap
Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta:
Liberty, 1986
Soetiksno. Filsafat Hukum (Bagian 1),
Jakarta: Pradnya Paramita, 2003
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi,
Proses Dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004
Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan
Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992
W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum,
Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (susunan 1), Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996
1
R.H. Solatau, Ilmu Politik (An Introduction to Politics), Jakarta: Ary Study Club, 1971, hlm 4.
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1988, hlm 27.
3
Ibid, hlm 28
4 Goerge H. Sabine, A Historical of
Political Theory, edisi ke-4, Illinois: Dyrden Press, 1973, hlm 3.
5
Miriam Budiardjo, op cit, hlm 30.
6
Sitiksno, Filsafat Hukum (bagian I), Jakarta: Pradnya Paramita, 2003,
hlm 9.
7
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka
Cipta, 1990, hlm 13.
8
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta:Liberty, 1986, hlm 152-170.
9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi, 2005, hlm 6.
10 Ibid, hlm 7.
11 A.D. Lindsay, The Modern Democratic
State (vol 1), London: Oxford University Press, 1951, hlm 224.
12 Untuk mengkaji perubahan konstitusi di
Indonesia dan perbandingannya dengan berbagai negara lain Lihat, Taufiqurrohman
Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia
1945-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
13 Robert A. Dahl, Perihal
Demokrasi; Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara singkat (On
Democracy), Terjemahan A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001, hlm 15-23.
14 Untuk membahas lebih lanjut
perkembangan pemikiran politik di Yunani dan Romawi serta perbandingannya lihat
Christoper Rowe dan Malcolm Scvhofield (ed) Sejarah Pemikiran Politik Yunani
dan Romawi (The Cambridge History of Greek and Roman Political), Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001.
15 Robert A Dahl, Op Cit, hlm 2.
16 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, 2005.
17 Samuel P. Hutington, Gelombang
Demokrasi Ketiga (The Third wave: Democratization in Twentieth Century), Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm 23.
18 W. Friedman, Teori & Filsafat
Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan 1), Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1996 hlm, 109.
19 Jon Eister, Karl Marx:
Marxisme-Analitis Kritis (An Introduction to Karl Marx), Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2000, hlm 47-48.
20Untuk mengkaji korelasi kesejahteraan
rakyat dengan ideologi, termasuk pertentangan kapitalis dengan kaum marxian,
baca Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat (
Ideology and Social Welafare), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
21 Ibid, hlm. 162-164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar