BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH
Pengaruh globalisasi sudah
merambah dalam kehidupan masyarakat, baik menyangkut kebutuhan primer (sandang
dan pangan) sampai kepada pada peniruan gaya
hidup (demonstration effect); Dan ini tidak mungkin terhindarkan bagi setiap
Negara yang sistem ekonominya terbuka, seperti Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan
perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat saat ini, dimana mobilisasi
informasi sudah merambah dimensi ruang yang tidak dapat dibatasi, dalam skala
waktu relatif singkat. Peristiwa penting terkait dengan pelbagai aspek
kehidupan di suatu Negara, dapat segera diketahui masyarakat Negara lainnya,
melalui jaringan pemberitaan media audio visual maupun internet.
Secara teoritis pengaruh
globalisasi akan menyentuh pada percepatan mobilisasi tanpa batas terhadap
barang/jasa, modal (dalam bentuk uang), manusia, informasi serta gaya hidup dan
nilai-nilai sosial budaya bergaya western life style. Oleh Faisal Basri dan
Haris Munandar (2009; hal 538); Globalisasi sudah terjadi sejak lama, menyatu
dalam pelbagai aspek perekonomian nasional di seluruh dunia, membentuk suatu
jejaring global yang menyentuh hampir semua pelaku ekonomi. Oleh karena terkait
satu sama lain, maka yang terjadi di suatu sektor/Negara, akan segera berimbas
ke berbagai sektor/Negara lainnya termasuk krisis ekonomi global yang terjadi
saat ini. Kalau kita tinjau dari makna kata Krisis Ekonomi Global berarti
krisis ekonomi secara besar-besaran yang melanda negara-negara di dunia, maka
akan terbayang oleh kita sebuah kesengsaraan secara besar-besaran akan terjadi,
akan ada jutaan bahkan ratusan juta orang kehilangan pekerjaan.
Pada
awal krisisnya hanya sebatas melanda Negara Amerika Serikat, Eropa, dan
negara Negara yang bergabung di Uni Eropa. Aliran gelombang krisis yang
keras ternyata sampai dikawasan Asia. Para investor yang menanamkan modalnya pada sektor non
riil mulai menarik kembali dana-dana mereka yang tertanam di lantai bursa.
Penarikan dana dengan dominasi mata uang asing oleh investor di beberapa Negara
kawasan Asia tujuannya adalah menutupin
kerugian keuangan yang tengah melanda Negara-negara investor tersebut.
Dalam sejarah ekonomi,
ternyata krisis ekonomi sering terjadi di mana-mana melanda hampir semua negara
yang menerapkan sistem kapitalisme. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang
tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001,
bahkan sampai saat ini krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis
finansial di Amerika Serikat. Krisis itu terjadi tidak saja di Amerika
latin, Asia, Eropa, tetapi juga melanda Amerika Serikat. Krisis finansial yang
terjadi di Amerika Serikat ini mempunyai efek paralel yang sangat luas, yang
mampu mengguncang bursa-bursa saham di dunia. Hal ini di sebabkan karena
Amerika Serikat merupakan salah satu pusat perdagangan dunia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
Negara-negara yang ada di bumi ini tengah menghadapi suatu krisis keuangan
secara global. Diakui ataupun tidak, krisis yang sedang dihadapi hampir semua
Negara yang ada ini merupakan imbas dari krisis financial yang terjadi
di Negara adidaya, Amerika Serikat. Krisis ekonomi yang terjadi di amerika
serikat mengherankan banyak orang. Banyak yang terkejut mengapa Negara
sebesar Amerika Serikat bisa mengalamikrisis ekionomi atau moneter yang
merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikatdan bahkan di dunia.
Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan
kelam sejarah perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang
merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan
terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di
negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang
menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh
.Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan
menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi runtuhnya pusat
keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham diberbagai belahan dunia
seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea Selatan, dan Negara
lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia (BEI) harus
disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam
menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya
dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan
oleh negara Indonesia.
Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis
Ekonomi global pada saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu krisis
ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia
menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur
perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini
berasal dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak
hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil dampak
krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan lebih buruk
jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun
1998.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia,
selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam,
juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut,
terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah
pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi
ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis
ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan
ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia
dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk
Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik
banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun
berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian
terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia
tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam
triwulan III tahun 2008, dan second round
effectnya akan mulai dirasakan meningkat
intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja
ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan
neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan
sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan
melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global.
Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar
50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar
17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan
berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Terlalu over confidance rasanya bila
kita menyakini bahwa krisis ekonomi yang terjadi di negara Paman Sam (USA)
tidak berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Tidak rasional pula bila kita
mengabaikan begitu saja perkembangan dampak krisis finansial di Amerika
Serikat, yang telah dirasakan di sebagain besar negara di daratan eropa. Kenapa saya menekankan seperti seperti ini karena:.
1. Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka. Bahkan dalam liberalisasi
permodalan, Indonesia tergolong negara yang sangat liberal dibandingkan negara
– negara di Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang lebih
kapitalis ketimbang Indonesia. Dengan demikian, setelah kejadian di Amerika
Serikat, para investor asing yang menanamkan modalnya melalui surat-surat berharga
di Jakarta Stock Exchange tentu akan mengambil posisi
mengamankan investasinya, dengan menjual saham-saham mereka di pasar modal. Hal
ini terlihat dari nilai Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus menurun. Ini berarti adacash
flow cukup besar, yang bila didiamkan akan merugikan ekonomi nasional.
2. Sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa investasi yang ditanamkan
Bussinessmen asal Indonesia serta lembaga-lembaga keuangan dari Indonesia
di New York Stock Exchange (NYSE). Baru
ada beberapa bank yang mengakui menanam modalnya di pasar saham Amerika
Serikat. Tetapi saya meyakini, banyak investor Indonesia yang memiliki surat
berharga dari lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat yang bangkrut akibat
imbas kredit macet perumahan di Amerika Serikat. Dana mereka tentu saja
menjadi insolven, atau tak bisa ditarik begitu saja,
3. Dalam struktur ekspor Indonesia, Amerika Serikat adalah pasar utama
produk-produk Indonesia. Sekitar 20 persen dari total ekspor Indonesia
diarahkan ke Negeri Paman Sam, dan 30 persen ke Eropa. Beberapa industri
tekstil dan produk tekstil yang pasar utamanya ke Amerika Serikat sudah mulai
mengeluh, karena banyak permintaan dari pembeli untuk menjadwalkan kembali
mengiriman barangnya, bahkan menunda pembelian. Jelas sekali, jika ekspor
menurun dan impor Indonesia tetap, akan terjadi defisit yang mau tidak mau akan
menurunkan cadangan devisa.
Meskipun demikian, tidak pas pula apabila muncul kekhawatiran berlebihan
dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat Indonesia terhadap situasi ini,
sehingga tidak mempercayai kemampuan kita sendiri. Akibatnya,
kebijakan yang diambil bukan berorientasi memperkuat kemampuan ekonomi bangsa,
tetapi semata-mata untuk menjaga kenyamanan investor-investor asing agar tidak
menarik dananya dari Indonesia dengan menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang membahayakan pertumbuhan
ekonomi dan aktivitas ekonomi riil. Karena itu, kita mesti menyikapi krisis
keuangan Amerika Serikat secara proporsional, karena peristiwa seperti ini akan
terus berulang dan akan selalu dihadapi Indonesia yang notabene telah menjadi
salah satu bagian kecil ekonomi global.
Selain sektor keuangan dan perbankan krisis ekonomi global berdampak juga
terhadap dunia pertanian. Dengan naiknya harga minyak mentah dunia, memaksa
Indonesia harus menaikkan harga jual BBM dalam negeri dengan tujuan untuk
menyelamatkan defisit APBN dan cadangan devisa. Fenomena menarik adalah
kenaikan harga komoditas perkebunan seperti sawit di pasaran internasional
justru terjadi pada awal krisis subprime mortgage. Hal ini lebih bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Naiknya harga minyak mentah dunia mendorong pasar untuk membeli CPO yang
akan digunakan sebagai bahan bakar nabati bahan bakar yang terbarukan.
2. Semakin banyaknya investasi di sektor kelapa sawit menyebabkan harga saham
perusahaan perkebunan ikut naik.
3. Para spekulan saham/sindikat perdagangan internasional yang melakukan aksi
menaikkan harga CPO dengan harga tinggi untuk mengambil keuntungan.
Hal ini berlaku sebaliknya ketika harga saham internasional mulai mengalami
depresi dan menimbulkan kepanikan di bursa saham dunia yang dibarengi dengan
anjloknya harga minyak mentah dunia hingga mencapai kisaran 80 USD/barel yang
sekarang sudah mencapai harga 56 USD/barel. Disaat yang bersamaan, terjadi
penurunan harga CPO di pasar dunia hingga mencapai 4.835 rupiah/kg (Bandingkan
dengan harga CPO pada bulan maret 2008 yang mencapai 9000 rupiah/kg) yang
diikuti dengan anjloknya harga komoditi perkebunan/pertanian yang lain seperti
karet, jagung, kacang kedelai, tepung dan gula di pasar dunia.
Berdasarkan uraian diatas maka pada makalah ini membahas tentang krisis
global dan dampak terhadap perekonomian Indonesia dengan judul : ”TANTANGAN DAN PELUANG PEREKONOMIAN
INDONESIA DALAM MENGHADAPI KRISIS
GLOBAL.”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEBIJAKAN PERDAGANGAN, PELUANG TANTANGAN
DUNIA BISNIS DAN PERAN PEMERINTAH DALAM ERA GLOBALISASI EKONOMI
1.
Kebijakan Perdagangan.
Kebijakan perdangan dalam periode memasuki era lepas landas diarahkan pada
penciptaan dan pemantapan kerangka landasan perdagangan yaitu dengan meningkatkan efisiensi
perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri dengan tujuan untuk
memperlancar arus barang dan jasa,
mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat,
menunjang usaha peningkatan efisiensi
produksi, mengembangkan ekspor, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan
kerja, meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat serta memantapkan stabilitas ekonomi.
Kerangka landasan yang ingin dicapai
tersebut meliputi unsur sebagai berikut :
a. Penciptaan struktur ekspor non migas
yang kuat dan tangguh dengan cara
melakukan diversifikasi produk maupun pasar serta pelakunya,
b. Penciptaan sistem distribusi nasional yang efektif dan efisien dalam rangka
meningkatkan daya saing produk ekspor,
mempertahan tingkat harga yang stabil dalam negeri,
c. Peningkatan daya saing usaha pelaku dalam kegiatan ekonomi perdangan baik dalam negeri maupun ekspor dengan
memupuk kebersamaan yang kokoh dalam
menghadapi pasar dunia yang makin ketat,
d. Tranpanransi pasar dan pengelolaan kegiatan perdagangan dengan membangun
sistem jaringan perdagangan.
e. Meningkatkan peran lembaga penunjang perdagangan seperti badan pelaksana
bursa komoditi, pasar lelang, BPEN , dll,
2. Peluang Dan Tantangan bagi Dunia Bisnis
Terbukanya
pasar dunia akibat globalisasi ekonomi membuka peluang bisnis antara lain :
a. Tersebarnya pasar yang lebih luas skalanya
dan terdiversifikasinya barang manufaktur dan produk yang mempunyai
nilai tambah tinggi (value added products).
b. Terjadi relokasi industri manufaktur
dari negara industri maju ke
negara-negara sedang berkembang dengan
upah buruh yang lebih murah. Sebagai konsekuensi logis dari relokasi industri
tersebut, siklus proses bahan baku
menjadi produk akhir menjadi lebih pendek. Hal ini akan menurunkan
harga per unit serta meningkatkan volume
perdagangan.
c. Tersedianya sumber pendanaan yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih
murah (bunga) karena makin beragamnya portofolio pendanaan terutama bagi negara
yang sedang tumbuh perekonomiannya.
Selain memberikan peluang yang terbuka lebar bagi dunia
bisnis , globalisasi ekonomi juga memberikan dampak negatif bagi dunia bisnis,
antara lain :
a. Terjadinya tranfer pricing untuk memarkir dana maupun keuntungan di
negara yang menganut tax shelter (memberikan perlindungan terhadap
pesembunyian kewajiban membayar pajak).
b. Relokasi industri karena footlose industry membawa pula teknologi kadaluwarsa ke negara
sedang berkembang (host country), hal ini terjadi di negara asalnya (home
country) teknologi yang dipakai industri tersebut ketinggalan jaman.
c. Masuknya FDI (foreign direct investment) dengan teknologi canggih, seringkali tidak diimbangi
dengan tersedianya sumberdaya manusia
yang siap mengoperasikannya sehingga membuat ketergantungan pada negara asal
investasi tersebut.
d. Masuknya FDI juga seringkali menimbulkan trade off politis, yang
merugikan masyarakat dan pelaku bisnis di dalam negeri.
B. KRISIS EKONOMI GLOBAL
Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam bukunya The History of Money
From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologis secara
komprehensif tentang krisis dunia yang pernah terjadi. Menurut
mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20 kali kris besar yang melanda
banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun
terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta
umat manusia. Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New
York, setelah beberapa dekade sebelumnya yakni mulai tahun 1860 – 1921 terjadi
peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun
1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 – 1923
German mengalami krisis dengan hyper inflasi yang tinggi.
Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam
sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank
tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan.
Pada tahun 1929 – 1930 The Great Crash (di pasar modal NY)
& Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga
net national productnya terbangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada
tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di
German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional.
Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas. Kemudian 1944 – 1966 Prancis
mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan
perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944 – 1946 Hungaria
mengalami hyper inflasi dan krisis moneter.
Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari
12000 million (11 digits) hingga 27 digits. Pada tahun 1945 – 1948 Jerman
mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua. Selanjutnya tahun 1945 –
1955 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi
dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami
hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia
terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis
untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton Woods Agreements,
yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih ketat (Fixed
Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi
anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan
umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil
membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) “tenang”. Namun ketika tahun
1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada
hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak
dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed
exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971 – 1973 terjadi kesepakatan Smithsonian (di
mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk
menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru, namun hanya
bertahan 2-3 tahun saja.
Pada
tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Pada tahun 1973 dan sesudahnya
mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter
konvensional akibat penerapan floating exchange rate sistem.
Periode Spekulasi; di pasar modal, uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh
jika pada tahun 1973 – 1874 krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of
England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.
Pada tahun 1974 Krisis
pada Eurodollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal
mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep
recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC,
yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.
Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga;
banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada
th 1974, tapi ketika negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan
inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun
1980 itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak
negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang
menarik dananya dari bank di eropa timur. Pada saat yang
hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di
Mexico, disebabkan outflow kapital yang massive ke US, kemudian di-treatments
dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini juga
menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.
Perkembangan berikutnya,
pada tahun 1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di
pasar modal USA & UK. Mengakibatkan
otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada
tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan
finansial yang tidak tepat. Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia
Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang
yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang
sama dengan Asteng. Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia;
dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis
keuangan melanda Brazil di tahun 1998. pad saat yang hampir bersamaan krisis
keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007 – hingga
saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat.
Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah
sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka
bumi ini. Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan
dunia tersebut?. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat
dan ekonomi yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut
pandang. Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut,
banyak para pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental
economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis
ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur
International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented
Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: “Ekonomi yang
mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar,
pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang
tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri
yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah
menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara
ke dalam krisis ekonomi”.
Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit
balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden)
yang membengkak–terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak
efisien (inefficient investment), dan banyak indikator ekonomi lainnya telah
berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.
C.
PENYEBAB KRISIS EKONOMI GLOBAL
Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global), seluruh
negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang telah
terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang sebelumnya
menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai teknologi yang canggih dalam
hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan terlihat hancur
perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa ekonomi negara-negara
tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang meyebabkan collaps
terkena dampak krisis ekonomi global.
Sebagai sentrum perekonomian dunia krisis ekonomi yang terjadi di Amerika
Serikat menimbulkan efek domino yang hebat, Bangkrutnya Lehman Brothers
langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia
seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan
Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham
di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak
terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian
besar, bahkan surat kabar New York Times menyebutnya sebagai
kerugian paling buruk sejak peristiwa serangan 11 September 2001.
Sebagai negara tujuan ekspor dengan tingkat daya beli paling tinggi di
dunia, menurunnya perekonomian Amerika akan berdampak luas terhadap
perekonomian negara lain. Logikanya, dengan menurunnya daya beli masyarakat
Amerika, maka tingkat permintaan terhadap barangpun akan berkurang sehingga
negara-negara dengan volume ekspor yang besar ke Amerika akan mengalami
penurunan nilai ekspor. Hal ini akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara dengan tujuan ekspor ke Amerika.
Krisis ekonomi ini yang terjadi di negara Amerika Serikat, kalau kita
tinjau dari latar penyebabnya ada beberapa hal:
1. Agresi Militer Amerika Serikat Ke Irak dan Afganistan. Dengan ambisi yang besar untuk memberantas teroris yang telah
meluluh lantakkan Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang
berhasil menghancurkan Word Trade Centre, Presiden Amerika bertekad
untuk memburu orang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan akan
menghancurkannya sampai ke akar-akarnya. Irak dan Afganistan yang menurut Amerika
adalah negara yang merupakan sarang dan penyandang dana untuk kelompok
terorispun menjadi sasaran invasi. Kedua perang ini sampai sekarang masih terus
berlangsung yang membutuhkan banyak dana sehingga pendanaan negara terfokus
pada kedua perang tersebut, yang memaksa Presiden Amerika Serikat harus
bolak-balik ke Kongres Amerika Serikat untuk menyakinkan kongres bahwa perang
masih akan terus berlanjut dan masih membutuhkan tambahan banyak dana.
2. Subprime Mortgage di sektor perumahan.
Kata ”mortgage” berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis.
Artinya: matinya sebuah ikrar (kalau di Indonesia perjanjian akad kredit ada
ada perbedaan sedikit). Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, seseorang
mendapat kredit. Lalu, memiliki rumah. Rumah itu di serahkan kepada pihak yang
memberi kredit. Seseorang boleh menempatinya selama cicilan rumah tersebut
belum lunas. Karena rumah itu bukan hak milik, begitu pembayaran mortgage macet,
rumah itu otomatis tidak bisa di tempati dan harus pergi dari rumah tersebut.
Begitu agresifnya para investment banking (perusahaan yang
mirip Bank, karena perusahaan ini menerima berbagai macam deposito, tetapi
tidak trikat dengan peraturan-peraturan perbankkan), sehingga kalau dulu hanya
orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage,
yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.
Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar
kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya
hidup seseorang.Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya
600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan
sendiri, ratingnya naik atau turun. Kalau
sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan
terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan
pengeluaran. Disisi lain pengusaha ingin perusahaan tumbuh semakin
besar dan mendapat laba yang tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang
ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage yang seharusnya belum bisa tetapi
dipaksakan dengan prinsip bila gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah
rumah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman
tetapi tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.
3. Neraca Keuangan yang tidak sehat. Buruknya kinerja lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat ikut adil
besar dalam krisis yang terjadi, dan diperparah dengan laporan badan-badan
independen yang seharusnya memberikan analisis objektif mengenai sektor-sektor
ekonomi di Amerika Serikat juga ikut dimanipulasi sedemikian rupa untuk
menciptakan sentimen positif terhadap sektor perumahan namun tanpa disertai safeguard ekonomi
yang memadai. Akibatnya muncul banyak kegagalan pembayaran kredit oleh para
kreditor. Sebagai efek dominonya, pihak ketiga penopang kredit (yaitu
badan-badan keuangan swasta) yang telah berinvestasi ratusan juta dolar banyak
yang mengalami kerugian sangat besar dari sektor ini. Himpunan dana yang
tadinya dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian Amerika Serikat kini
tersendat dan tidak dapat diputar kembali untuk investasi. Akibatnya terjadi
krisis finansial di dalam negeri yang memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi
dan berpotensi untuk meruntuhkan fondasi ekonomi Amerika.
4. Telalu Overconfidance dalam penyaluran kredit. Karena terlalu percaya diri dalam penyaluran kredit, khususnya pada
sektor perumahan sehingga orang / badan usaha yang memiliki reputasi buruk
sekalipun masih mendapatkan kredit yang menyebabkan kridit besar-besaran
mengalir begitu saja kepada para kreditor yang bermasah. Hal
ini tentu saja akan memacu timbulnya kredit macet. Terjadinya kredit macet
di sektor perumahan (sub-prime mortgage) yang menyeret terjadinya
kredit macet di perbankan dan memaksa the FED (Bank Sentral
Amerika Serikat) untuk menurunkan suku bunga hingga 2%. Krisis yang
terjadi di awal tahun 2008 tersebut memicu kenaikan harga minyak mentah dunia
hingga mencapai rekor tertingginya di bulan Mei sebesar 147
USD/barel. Akan tetapi, krisis yang terjadi belum berakhir. Naiknya harga
minyak mentah dunia membuat dunia usaha mulai kualahan dan daya beli konsumen
semakin menurun, sehingga menyebabkan keragu-raguan dan ketidak pastian pasar.
Kredit macet perumahan tersebut akhirnya melibas dua nama besar perusahaan di
sektor finansial, Merrill Lynch dan Lehman Brothers. Harga saham di bursa
saham USA (Wall Street) dan dunia mulai mengalami penurunan dan mulai
memicu krisis yang berdampak pada kolapsnya bank-bank investasi maupun
perusahaan-perusahaan asuransi dunia. Saat itulah Pemerintah USA menyadari
bahwa krisis tersebut sudah tidak dapat dibendung, dan meminta Kongres USA
menyetujui dana talangan USD 700 miliar untuk menolong sektor keuangan. Namun,
langkah tersebut sudah terlambat karena kepanikan di pasar modal sudah melanda
seluruh dunia, termasuk Indonesia.
D. PEREKONOMIAN INDONESIA DAN DAMPAK KRISIS FINANCIAL (KRISIS EKONOMI GLOBAL)
Krisis finansial global yang menyebabkan
menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis pada tahun 2008
diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat intensitasnya
pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume
perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada
banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas
produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara
berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental
perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap
perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan
tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan
likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini
menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung
bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah
membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas
dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global
yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan
second round
effectnya
akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan
berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di
sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor
fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari
krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen
psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham
di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi
nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun
2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan
volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009
dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi global :
1.
Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008. Asumsi inflasi dalam APBNP 2008
yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah
Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan
berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih
mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif ,
karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada
pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia
usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang
tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk
akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti
akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih
akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi
harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh
pemerintah. Tambahan
lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia.
Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan
reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak
terhadap Indonesia
dan dikhawatirkan inflasi akan melebihi satudigit. Dalam menghadapi situasi
perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur
BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi
besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah
sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika
harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30%
anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain,
katanya. Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN
pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan
Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk
menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir
mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat
menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN. Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan
sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat
ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat
inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit
APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP
2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata
menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan
dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam
APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau
APBNP 2008 harus direvisi kembali. Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa
terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurangi
impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB)
Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga
yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan
Malaysia. Seperti pada tahun 2001/2002,
atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga negara di Asia yang tidak
terlalu terpukul ekonominya: China,
India, dan Indonesia.
Ketiga negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya
merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak
negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih
besar dari pada dampak resesi ekonomi AS. Namun demikian, krisis finansial
global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak
sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di
Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut,
penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun, yang
akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dari sini kita tahu bahwa dampak
krisis moneter di Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia tidak
hanya pada melemahnya nilai tukar Rupiah, namun juga pada berbagai sector lain yang
lebih rumit. Berikut akan dijelaskan dengan singkat.
2. Rupiah Melemah. Akibat krisis moneter di
Amerika Serikat, nilai tukar rupiah melemah dan sempat menembus Rp 9.860 per
USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus Rp 10.000 per USD. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih sejalan dengan beberapa mata
uang lainnya. Berbeda dengan krisis 1997, BI kini juga telah mengetahui
pencatatan valas perbankan. BI juga tetap waspada dan terus menjaga agar tidak
terjadi pergerakan gejolak yang terlalu besar. BI
sebagai bank sentral meminta pasar tidak panik menghadapi situasi saat ini. Turbulensi
di pasar finansial saat ini terjadi di seluruh dunia. Bank sentral akan
terus memantau perkembangan ekonomi global, dan berusaha agar dampaknya bisa
seminimal mungkin.
3. Jatuhnya Bursa Saham. Dampak lain yang terjadi akibat krisis
moneter di Amerika Serikat adalah jatuhnya bursa saham yang terjadi dalam
pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli ekonomi menilai kecil kemungkinan
krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi berupa ambruknya perbankan dan
sektor riil. Namun untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar, pemerintah
sebaiknya fokus menjaga daya beli masyarakat. Pada hari Jumat tanggal 10
Oktober 2008, pemerintah membatalkan rencana pembukaan kembali perdagangan di
Bursa Efek Indonesia (BEI) yang ditutup pada hari Rabu, 8 Oktober 2008. Hal ini
dilakukan karena otoritas bursa ingin melindungi emiten. Emiten perlu
dilindungi dari kemungkinan keterpurukan nilai harga saham akibat sentimen
negatif pasar terhadap kondisi keuangan global yang sedang krisis. Para ahli
menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan Amerika
Serikat (AS), Eropa, dan negara maju lainnya. Di AS, krisis telah merasuk ke
semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga sektor riil. Namun, di
Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar
modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi
pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil. Penyesuaian yang
terjadi di pasar modal dan nilai tukar domestik merupakan hal wajar karena
seluruh dunia terkena imbas krisis keuangan AS. Penurunan ekonomi AS dan Eropa
dinilai tidak perlu dikhawatirkan mengingat peran mereka dalam perdagangan
dunia makin menyusut. Sebagai gantinya, kini muncul kekuatan ekonomi baru,
seperti China, India, dan Rusia. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini
merupakan koreksi atas kesenjangan (gap) yang terjadi antara pertumbuhan sektor
riil dan sektor finansial. Koreksi berupa penurunan harga-harga di sektor
finansial dan kenaikan harga-harga di sektor riil, seperti harga komoditas.
Hal tersebut memberikan gambaran kepada
kita bahwa meskipun krisis moneter di Amerika Serikat telah memicu krisis
ekonomi global, dan di Indonesia juga terkena dampaknya dengan melemahnya nilai
Rupiah dan jatuhnya pasar saham, kita tidak perlu khawatir karena krisis
tersebut tidak akan melumpuhkan perekonomian Indonesia seperti yang terjadi
pada sepuluh tahun yang lalu.
E. TANTANGAN DAN PELUANG PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis
Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa melewati satu hari pun
dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara
tentang nasib satu orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut
nasib sebuah bangsa. Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global
kali in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana
pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa
industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja
tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor
lokal dan Asing pun mulai menarik saham dalam industri-industri di Indonesia.
Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas
akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi
terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di
prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap
jenjang.
Memang sangat ironis di satu sisi
Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item
bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini
mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai
rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang
ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari
hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan
kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil
menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair.
Belum lagi persediaan minyak yang semakin
lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara
asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi
tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini. Jadi memanglah pas
ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI
) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem kapitalisme
internasional sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas
menghadapi krisis keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan
di Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang “hancur-hancuran” seperti pada
bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap
menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu.
Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya
potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai
masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait
untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional sehingga
bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri
serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar
yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.
Thomas R. Rumbaugh, Division Chief IMF
untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa ekonomi RI selama kuartal
1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda
kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau
mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi
Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam laporan World Economic Outlook yang
dirilis dana moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan ekonomi
Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan proyeksi
lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok
proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru
IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi
perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang berbasis di
Washington DC itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus
moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan
bank sentral dinilai telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi
dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan nilai tukar,
IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai
langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya
pemerintah menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode
semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih
didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap dan juga
pemilu legislatif. Syahrial Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF
menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi
sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut
mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5%
dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak
perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8
hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan
terpanjang sejak periode bullish 2007. Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94%
dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu
sebesar 143,1 poin (6,7%).
Menurut Institute for Management Development
(IMD), lembaga think thank dan
pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia
Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki
kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah mengalami krisis keuangan cukup
parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara seperti
itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit. Penjelasan
lain adalah karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup parah dan
krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam kebijakannya. Stress test versi IMD merupakan analisis untuk
mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki daya saingnya
pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu mengambil
Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sebagai basis
penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator
pemerintah berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi
ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri
Mulyani Indrawati optimis peringkat stress
test Indonesia akan lebih baik pada tahun
depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008,
ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya,
katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI
sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2009
diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, kendati
secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro
Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini
pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar
realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi
pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih
akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang
masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo,
mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit
karena ekspor dan investasi masih lemah.
Seiring dengan semakin terkendalinya tekanan
inflasi, BI sudah menurunkan bunga acuannya dengan agresif. Pada November 2008,
suku bungan acuan BI masih di level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan
BI sudah turun ke 7 persen. Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga
acuan BI. Sudah barang tentu langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif
tersebut disambut baik oleh banyak pihak.
Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan
akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun,
harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat
kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan suku bunga acuan BI pada level 7
persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12 persen.
Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem perbankan
negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga
pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga pinjaman
secara signifikan, sector riil kita menjerit meminta suku bunga pinjaman
diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga
membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk Negara-negara lain yang
bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing
produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh
lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan
sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari
system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke
BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI tersebut akan disimpan di
BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat digunakan oleh perbankan kita.
Suplai uang di system financial kita pun menjadi berkurang. Bila dilihat dari
suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya.
Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya
masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan
pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak
memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative adalah
terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah
secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual
dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan
SBI outstanding (total jumlah SBI yang
ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system
finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008
SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116
Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat
bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan
pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada Januari 2009 jumlah uang pemerintah di
rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187
triliun yang ditarik keluar dari system finansial kita pada periode tersebut.
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan angka sementara kredit bulan
kelima tahun ini menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun
lalu. Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah
menyampaikan pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5
triliun. Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik
Rp. 1,25 triliun. Dengan realisasi kredit Mei
sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat
dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan
dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp.
1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat
menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai
titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi likuiditas
perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi April, tapi
secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan pertumbuhan
sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6
triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun.
Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786
triliun.
Menurut
kepala Devisi Advokasi dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat
Internasional di Indonesia, langkah-langkah Indoonesia dalam meghadapi krisis ekonomi
ini adalah :
1. Penciptaan ketersediaan likuiditas pasar, melalui: a. upaya Pemerintah
memberikan likuiditas tambahan kepada perbankan nasional melalui penempatan
rekening pemerintah kepada Bank-Bank BUMN; b. penurunan Giro Wajib Minimum
(GWM), GWM Rupiah diturunkan dari 9,01% menjadi 7,5%, 5% cash + 2,5% secondary
reserved, GWM Valas diturunkan dari 3% menjadi 1%. Kebijakan
ini berpotensi menambah likuiditas rupiah sebesar Rp50 triliun dan Valas US$721
juta; c. pemerintah menerapkan Crisis Management Protocol /CMP untuk
pengelolaan SUN dengan membatalkan jadwal program penerbitan SUN mulai Oktober
2008, termasuk lelang yang dilakukan secara reguler. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah peningkatan tambahan beban utang dalam APBN maupun potensi kerugian
bagi pelaku pasar domestik SUN . d. pembekuan pemberlakuan Peraturan tentang
‘marked to market’ terhadap surat berharga/efek untuk mencegak pembukuan
kerugian akibat turunnya harga surat berharga/efek yang dimiliki oleh
perusahaan efek dan reksa dana. e. mempercepat realisasi belanja
kementerian/Lembaga sebesar Rp. 25,9 triliun; f. melakukan pembelian (buyback)
saham BUMN yang telah go public melalui Pusat Investasi Pemerintah dan beberapa
BUMN; g. memberikan kemudahan kepada Emiten untuk melakukan buy back, misalnya
memperbesar jumlah saham yang dapat di buy back dari 10% menjadi 20%, dan dapat
dilakukan tanpa perlu mendapatkan persetujuan RUPS.
2. Menjaga kesinambungan devisa dan neraca pembayaran, dengan
tindakan-tindakan, seperti: a. mendorong FDI melalui perbaikan iklim usaha
secara nyata; b. mencari pembiayaan defisit anggaran dari sumber non-pasar dari
luar negeri: antara lain melalui Lembaga multilateral (World Bank, IDB, JBIC),
Bilateral dan Sovereign Wealth Fund;
3. Mengupayakan “swap facility” dengan bank sentral negara lain,
diantaranya Bank of China, Bank of Japan, Monetary Authority of Singapore; d.
merealisasikan “Asian Bond Arrangement” (Chiang May plus refinement); e.
memberlakukan wajib lapor terhadap setiap pembelian USD dalam jumlah besar,
dalam rangka mencegah spekulasi dolar; f. membuat “clearing house” valas yang
berasal dari valas hasil eksporimpor khusus untuk BUMN; g. mewajibkan pelaporan
LC dengan dokumen dan underlying asset pada setiap Bank; h. mencegah masuknya
“short term capital” dalam jumlah besar, khususnya Non-Deliverable Forward; i.
memperlambat keluarnya modal dengan mempersempit “auto rejection”; j.
Mengurangi impor barang konsumsi.
4. Menjaga kesinambungan APBN 2009/2010, melalui langkah-langkah seperti:
a. melakukan redefinisi “pembiayaan darurat” dalam Pasal 23 UU No. 41 tahun
2008 Tentang APBN 2009. Diamanatkan bahwa dalam keadaan darurat (krisis sistemik dalam
sistem keuangan dan perbankan nasional), Pemerintah dengan persetujuan DPR
dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau melebihi pagu
yang ditetapkan dalam APBN 2009; b. menambah belanja atau fokus belanja untuk
sektor-sektor yang berdampak besar terhadap pertumbuhan penciptaan lapangan
kerja dan pengurangan kemiskinan; c. menambah dana risiko fiskal terhadap
deviasi asumsi; d. merancang pembiayaan darurat dari pinjaman luar negeri
antara lain melalui melalui private placement kepada sovereign wealth funds,
lembaga multilateral dan bilateral, serta ASEAN + 3; e. melakukan relaksasi
tarif pajak untuk beberapa sektor, antara lain CPO.
5. Penerbitan dan perbaikan
peraturan perundangan di sektor keuangan untuk mendukung pasar yang kuat dan
kondusif, seperti: a. melakukan pelonggaran peraturan di sektor perbankan,
pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank (Perasuransian, Dana Pensiun, Reksa
Dana dan Perusahaan Pembiayaan) terutama untuk penentuan nilai wajar surat
berharga; b. melakukan suspensi sementara terhadap perdagangan di Bursa; c.
menetapkan Perppu Bank Indonesia untuk memperluas jenis aset bank yang dapat
dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP); d.
menetapkan Perppu LPS dan peraturan pemerintah untuk meningkatkan besaran nilai
penjaminan dari sebesar Rp100 juta menjadi maksimum Rp 2 miyar untuk setiap
nasabah dalam satu bank; e. menetapkan Perppu JPSK yang mengatur mekanisme
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan nasional.
Semua
upaya-upaya tersebut dilakukan dengan simultan melalui kerjasama yang baik dan
kerja keras. Kalau boleh berbangga diri pada keadaan itu, bahwa kerjasama
Pemerintah antar instansi bersama-sama dengan Bank Indonesia ibarat gerakan darah yang
bergerak dalam tubuh bekerja secara serentak sesuai dengan mekanismenya. Demikianlah, semua pihak bekerja bahu membahu untuk menahan hantaman krisis
yang dorongannya berat pada masa-masa itu. Tidaklah sesuatu yang mengherankan
jika kebijakankebijakan strategis yang diambil Pemerintah tersebut mendapatkan
apresiasi dari berbagai pihak. Sejumlah analis, ekonom, politikus mengungkapkan
apresiasi sebagai berikut:
Setelah terjadinya krisis finansial yang dahsyat di Amerika Serikat, yang
efek dominonya dirasakan oleh seluruh negara di dunia, tanpa terkecuali
Indonesa. Sebagai negara berkembang tingkat ketergantungan Indonesia kepada
negara lain sangat tinggi khususnya negara yang maju. Setelah pada tanggal 8
Oktober Indek Harga Saham Gabungan terkoreksi turun mencapai level 10.38%
membuat pemerintah panik dan mulai mengambil langkah-langkah pencegahan.
Landkah-langkah pencegahan ini masih bersipat situasional/sementara.
1.
Buy Back oleh BUMN yang kuat. Untuk melakukan Buy Back saham-saham BUMN
yang diperdagangkan di Bursa Saham, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp.
4.1 Triliyun rupiah. Pada tangggal 13 Oktober 2008 yang lalu
pemerintah telah memanggil 11 BUMN yang dianggap sehat dan mampu untuk
melakukan koordinasi dengan badan sekuritas. Tetapi langkah ini menimbulkan
kontroversi yang luar biasa di kalangan dunia usaha, dihawatirkan langka
pemerintah ini akan menimbulkan Insider Trading yaitu
transaksi pengendalian oleh kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya masing-masing.
2. Memperkuat dan mengutamakan ekonomi kerakyatan. Belajar
dari pengalaman krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997,
pemerintah mengambil langkah untuk memperkuat ekonomi berbasis kerakyatan
seperti UKM. Untuk merangsang pertumbuhan UKM ini pemerintah tidak menaikkan
suku bunga untuk KUR (Kredit Usaha Kecil) yang tetap di kisaran 6%. Kredit Ketahanan Pangan 8%
dan Kredit Community Development. Jumlah kredit tersebut bisa
mencapai trilyunan. Dan di sinilah, sektor riil atau ekonomi kerakyataan bisa
terus berjalan dan hidup di tengah krisis finansial global.
3. Menaikan tingkat suku bunga Bank. Pertimbangannya,
dengan naiknya tingkat suku bunga, pengusaha besar tidak berani mengambil
kredit. Sebab dikhawatirkan kalau pengusaha-pengusaha besar ini sampai
mengambil kredit dan mereka bermain di pasar saham yang akan berakibat patal
bagi perekonomian Indonesia.
4. Mencari pasar Ekspor selain Amerika Serikat. Selama
ini pangsa pasar Ekspor produk-produk Indonesia di dominasi oleh Amerika
Serikat, Sebagai mana kita ketahui bahwa 20% produk ekspor kita diarahkan ke
Amerika Serikat dan sudah saatnya untuk mencari pasar diluar Amerika
teruma produk-produk tektil Indonesia yang mendapat pukulan hebat akibat krisis
di Amerika Serikat. Pasar ekspor ini bisa kita alihkan ke Asia, Negara-begara
di Timur Tengah dan Eropa atau negara-negara lain yang tidak mengalami
krisis finansial. Pemerintah bertekad untuk meningkatkan volume eksport yang mendongkrak
neraca perdagangan dan penanaman modal asing langsung (FDI). Langkah
konvensional dilakukan dengan memberikan insentif kepada dunia usaha. Di sini,
PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan
diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi lawas melalui Inpres 5/2008 juga
terus dijalankan.
5. Mengubah Asumsi APBN 2009. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajarannya
pada hari senin tanggal 13 oktober 2008 menyampaikan usulan perubahan asumsi
makro dan postur APBN 2009 kepada Panitia Anggaran DPR RI. Penyesuaian yang
perlu segera dilakukan menurut menteri keuangan adalah asumsi dasar ekonomi
makro sesuai dengan kondisi terakhir. Seluruh elemen asumsu makro mengalami
perubahan, Pertumbuhan ekonomi year on year berubah menjadi
5,5 – 6.1% dari kesepakatan semula 6.3%, rata-rata nilai tukar rupiah mengalami
perubahan sebesar 450 dari kesepakatan semula Rp 9.150, serta besaran inflasi
year on year juga disesuaikan dari 6,2% menjadi 7.0%. Hal ini dilakukan karena
apabila asumsi APBN 2009 tidak dilakukan akan terjadi kekurangan pembiayaan
sebesar 53,9 triliun dari perubahan asumsi dan perubahan sumber pebiayaan.
6. Jaring Pengaman Sosial. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
merupakan upaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat dalam
wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu, trasparan, dapat
dipertanggunjawabkan, dan memberikan akses langsung kepada masyarakat secara
cepat serta berkesinambungan. Tujuan pokok program JPS adalah sebagai berikut :
a. Menciptakan kesempatan kerja produktif bagi para penganggur di berbagai
sektor kegiatan ekonomi,
b. Meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat,
c. Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat, terutama yang terkena
dampak langsung kondisi krisis, dan
d. Mengkoordinasikan berbagai program pembangunan penanggulangan dampak krisis
dan berbagai program penanggulangan kemiskinan.
Presiden Republik Indonesia sendiri Bapak Susilo Bambang Yudoyono pada
tanggal 6 Oktober 2008 dalam sidang kabinet dalam rapat paripurna yang dihadiri
oleh seluruh menteri kabinet Indonesia Bersatu, kalangan dunia usaha, dan juga
pimpinan media massa nasional, di gedung Sekretariat Negara, Jakarta, telah
menetapkan 10 langkah pemerintah untuk mengurangi dampak krisis ayang terjadi
di negara Paman Sam. Ke 10 langkah pemerintah yang disampaikan langsung oleh Presiden
Republik Indonesia
itu adalah:
1.
Terus memupuk rasa optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa
tetap menjagar kepercayaan masyarakat.
2.
Pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen harus terus dipertahankan
antara lain dengan terus mencari peluang ekspor dan investasi serta
mengembangkan perekonomian domestik.
3.
Optimalkan APBN 2009 untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap
memperhatikan social safety net dengan sejumlah hal yang harus
diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan
listrik serta pangan dan BBM.
4.
Kalangan dunia usaha diminta tetap mendorong sektor riil agar
dapat bergerak. ”Bila itu dapat dilakukan maka pajak dan penerimaan negara
bisa terjaga dan juga tenaga kerja dapat terjaga. Bank Indonesia dan
perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit bisa mendorong sektor
riil. Pemerintah juga akan menjalankan kewajibannya untuk memberikan
insentif dan kemudahan secara proporsional.
5.
Semua pihak agar lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis
antara lain dengan mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis
keuangan AS. ”Kita harus mendorong produk kita agar kompetitif dan
memiliki daya saing yang baik,”.
6.
Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar
domestik akan bertambah kuat. ”Kepada para menteri saya minta untuk
memberikan insentif dan disinsentif agar penggunaan produk dalam negeri dapat
meningkat, kalau perlu juga akan dikeluarkan instruksi agar pengadaan barang
dan jasa di departemen mengutamakan produk dalam negeri,” kata Presiden.
7.
Perkuatan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, Bank Indonesia,
dunia perbankan serta sektor swasta. ”Cegah timbulnya ketidakpercayaan dan
saya ingatkan semua pihak memiliki peran yang penting,” ujarnya.
8.
Semua kalangan diminta menghindari sikap ego sentris dan memandang
remeh masalah yang dihadapi. ”Hilangkan budaya ego sentris dan juga
kebiasaan ’bussines as ussual’,” tegas.
9.
Berkait dengan tahun politik pada 2009, semua pihak diminta
memiliki pandangan politik nonpartisan serta mengedepankan kepentingan rakyat
di atas kepentingan golongan maupun pribadi termasuk dalam kebijakan-kebijakan
politik.
10.
Semua pihak diminta melakukan komunikasi yang
tepat dan baik pada masyarakat. Tak hanya pemerintah dan kalangan
pengusaha serta perbankan.
Selain 10 langkah tersebut
di atas pemerintah juga menyiapkan beberapa langkah antisifasi lainnya,
dibidang fiskal, moneterr danperbankkan dan stimulus lainnya. Dibidang fiskal pemerintah mengambil langkah-langkah;
1. Percepatan pencairan belanja pemerintah
2. Pembangunan infrastruktur dan memperbanyak proyek padat karya.
3. Subsidi pajak dan bea masuk sektor riil perlu segera di implementasikan
4. Kemudahan dan percepatan waktu restitusi pajak untuk perusahaan
berorientasi eksport
5. Intensif pajak untuk investasi di daerah terpencil
6. Pemberlakuan amnesti pajak
Dibidang Moneter dan
Perbankkan langkah yang diambil oleh pemerintah
1.
Penurunan BI rate serta penerapan blanket guarantee agar
mendorong penurunan suku bunga kredit
2.
Ekspor komoditas andalan perlu dukungan khusus dengan skema
pendanaan perbankkan tertentu
3.
Dukungan kemudahan letter of credit (LC) Stimulus
lain
4.
Pemangkasan ekonomi biaya tinggi
5.
Pemangkasan biaya logistik pelabuhan
6. Perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan barang impor
7. Hentikan imfor barang yang bisa di produksi dalam negeri.
BAB III
PENUTUP
Sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan
tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik
ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa
menyelamatkan sektor modern dengan cara “habis-habisan” (all out dan at all
cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang
teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan
hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit
dari keterpurukannya.
Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa
yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi
rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah “gulung tikar”
sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan
kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi “sekarat” itu hanya
terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam
angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat
oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan,
dan daya tahan yang sangat besar.
Untuk mengantisipasi
Krisis Ekonomi Global bukan hanya tugas pemerintah semata, kebersamaan dan
saling bahu membahu dalam mengatasi krisis antara pemerintah, dunia usaha dan
pelaku-pelaku ekonomi lainnya akan menciptakan iklim usaha yang kondusif,
sehingga para investor tidak ragu dalam menamkan modal dan berinvestasi di
Indonesia. Para eksportir harus jeli dalam melirik peluang pasar yang
ada, khususnya dikawasan Asia, Timur Tengah dan Negera-negara di Eropa yang
tidak terkena dampak krisis finansial di Amerika Serikat. Pasar ekspor Indonesia yang
selama ini 20% di dominasi oleh Amerika harus kita alihkan ke negara lain
tersebut supaya tidak terjadi depisit nilai ekspor dan Import kita.
Kita semua berharap krisis
yang terjadi di Negara Adi daya itu cepat berlalalu dan pengaruhnya terhadap
perputaran roda perekonomi Indonesia
tidak terlalu besar sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
di canangkan pemerintah sebesar 6% dapat tercapai.
Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis
ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa
menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya,
pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah
tiba saatnya untuk segera dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar