Senin, 09 Maret 2015

MAKALAH HUKUM.....semoga bermanfaat



Perkembangan Pemikiran Political Theory  serta pengaruhnya terhadap perkembangan Teori Hukum
A.    Latar Belakang George H. Sabine (1886-1960)
George Hollan Sabine adalah salah seorang penulis bidang teori politik terkemuka di Amerika Serikat. A History of Political Theory merupakan salah satu karya yang kesohor. Melalui tulisan-tulisannya, Sabine tampak menaruh perhatian besar pada bidang sejarah teori politik.
Selain “A History”, Sabine juga telah menghasilkan karya lain seperti Cicero :On Coomonwealth, yang ia tulis bersama Stanley B.Smith. Ia juga menterjemahkan buku H. Krabbe “Essays in Political Theory: The Modern Idea of the State”. Artikel yang ditulis Sabine juga tersebar di berbagai jurnal, yang makin menguatkan ketertarikannya pada teori politik. Ia menulis antara lain What is Political Theory (1939), The concept of the state as power (1920), dan the Pragmatic Approach to Political Science (1930).
Semasa hidupnya Sabine tercatat sebaai anggota American Political Science Association. Di forum ilmiah ini pula ia berdiskusi dengan sarjana-sarjana ilmu politik seperti Harold J. Laski, George Boas, Arthur C.Cole dan Frank Thilly.
George H. Sabine menguraikan secara panjang lebar sejarah teori-teori politik yang pernah muncul mulai zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno hingga munculnya fasisme di Italia dan nasionalisme sosialis di Jerman menjelang Perang Dunia I; mulai dari konsep negara kota (city-state) hingga bergemanya konsep rechsstaat.
Secara sederhana, teori politik didefenisikan Sabine sebagai upaya manusia untuk memahami dan mengatasi masalah-masalah kehidupan dan organisasi kelompoknya (man’s attempts to consciously understand and solve the problems of his group life and organization). Teori politik adalah bagian dari kebudayaan manusia, seperti halnya institusi politik. Teori politik berkembang sesuai dengan lingkungan politik dimana teori itu berawal. Sejarah teori politikacapkali dihubungkan dengan kebudayaan Barat.
Teori politik di Barat melahirkan nama-nama masyhur seperti Plato, Aristoteles, St Agustine, Thomas aquinas, Hobbes, John Locke, JJ Rousseau, Hegel dan Marx. Pemikiran merekalah yang antara lain diuraikan Sabine dalam kaitannya dengan dinamika masyarakat.
Sabine mengklasifikasikan sejarah teori politik ke dalam tiga fase yaitu : (i) teori negara-kota (city-state); (ii) teori masyarakat dunia (universal community);dan (iii) teori negara nasional (national state).

B.     Teori Negara-Kota
Pada umumnya cita-cita politik modern seperti keadilan, kebebasan, pemerintahan konstitusional dan kepatuhan pada hukum merujuk pada pemikiran yang berkembang di Yunani ketika para pemikir memusatkan perhatian mereka terhadap polis. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan kelompok masyarakat yang hidup di sebuah negara kota.
Zaman keemasan Yunani Kuno pada sekitar abad kelima sebelum Masehi ditandai dengan berdirinya sejumlah polis. Setiap polis terdiri dari jumlah penduduka yang masih sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Salah satu polis yang sangat terkenal pada masa itu adalah Athena.
Perhatian para pemikir terhadap negara-kota tidak bisa dilepaskan dari hubungan antar satu polis dengan polis lainnya. Perhatian itu sudah mulai tampak sebelum masa Plato (429-347 SM). Sebut misalnya Herodotus yang mulai menulis adat istiadat warga asing yang datang ke Athena untuk kepentingan bisnis. Atau, Pericles yang menggambarkan demokrasi dalam kehidupan negara-kota. Sebaliknya, ada pandangan Solon yang menganggap demokrasi itu bisa menjadi gerombolan orang terbanyak yang memaksakan kehendak.
Xenophone dianggap orang yang berjasa menyusun aturan-aturan ‘konstitusi’ Athena. Sementara Aristophane (390SM) menguraikan sebuah komedi tentang hak-hak wanita dan penghapusan lembaga perkawinan.
Namun  demikian, literatur teori politik banyak merujuk pada Plato dan Aristoteles. Lahir sebagai keturunan aristocrat Athena, Plato mengemukakan cita negara hukum. Ia mendirikan lembaga pendidikan bernama Academia, lembaga yang kemudian berperan penting bagi perkembangan pemikiran politik di Athena. Di sini pula Aristoteles berguru. Pemikiran Plato mengenai politik, hukum dan kenegaraan dituangkan dalam buku Republic dan Nomoi. Plato berpandangan seseorang harus hidup di negara yang baik, yaitu sebuah negara ideal. Tidak mungkin ada orang baik kecuali di negara yang baik.
Aristoteles (384SM) mulai berpandangan lebih realis. Ia menolak paham Plato tentang penghapusan hak milik dan lembaga perkawinan. Ia juga menolak pandangan bahwa negara diibaratkan sebagai sebuah keluarga. Negara yang dicita-citakan Aristoteles adalah pemerintahan berkonstitusi dan tidak despotis, tidak terkecuali raja yang despotis. Hukum tetap menjadi syarat penting di negara cita-cita. Di negara ideal harus ada persamaan antar warga.
Pada masa Yunani Kuno, hak warga untuk ikut terjun langsung menentukan nasib negara-kota memang sangat besar. Dalam mengambil keputusan, warga dikumpulkan. Meskipun demikian, dalam praktek tetap ada diskriminasi. Di dalam masyarakat dikenal kelas bangsawan dan budak. Kelompok yang disebut terakhir tidak mempunyai hak politik.

C.    Teori Negara Dunia
Kematian Aristoteles pada 322 SM dianggap sebagai garis demokrasi perubahan filsafat politik. Perubahan itu juga didorong oleh kegagalan sistem negara-kota. Athena yang begitu megah justru hancur melawan Sparta. Batas-batas negara-kota semakin lama semakin hilang, ekspansi kekuasaan terus bergerk dari satu negara ke negara lain. Sehingga terbentuk masyarakat yang semakin banyak dengan wilayah yang kian meluas.
Sebaliknya, masa ini ditandai mulai munculnya individualisme. Ikatan terhadap negara-kota meluntur. Warga Romawi bukan hanya mereka yang tinggal di Roma, tetapi warga lain yang tinggal di daerah penaklukan. Orang tidak lagi tunduk secara utuh kepada para pengelola polis. Pemikiran politik yang berkembang adalah individu sebagai bagian umat manusia yang memiliki hak-hak pribadi. Harga diri seseorang harus dihormati orang lain. Sebaliknya, semua orang memiliki kodrat yang sama sebagai manusia.
Marsilius berpendapat negara terbentuk bukan semata-mata karena kehendak Tuhan, tetapi juga karena ada perjanjian antara individu-individu tadi untuk membentuk negara. Selain perjanjian membentuk negara, warga juga membuat perjanjian menundukkan diri kepada penerima kuasa pemerintahan (factum subjectionis).
Pada masa inilah lahir ajaran hukum alam (natural law), termasuk Mazhab Stoa dan Scipio. Stoa mengajarkan ide tentang negara dunia, keadilan alam dan kewarganegaraan universal.
Salah satu tokoh teori masyarakat dunia yang hidup pada masa Romawi Kuno adalah Cicero (106-43 SM). Pernah bekerja sebagai advokad, Cicero hidup ketika Alexander Agung mulai melebarkan sayap kekuasaannya. Wilayah negara Romawi meluas melebihi wilayah asli karena ekspansi ke daerah lain. Ia terkenal dengan ucapan “ubi societes ibi ius” (dimana ada masyarakat di situ ada hukum). Negara yang sempurna menurut Cicero adalah negara yang asas-asasnya berkembang mengikuti siklus Polybios. Negara akan tetap eksis apabila setiap orang sadar akan kewajiban bersama dan menghargai orang lain. Cicero banyak mempengaruhi sarjana hukum Romawi dan kelangan gereja seperti Agustinus dan Lactantius. Tulisan para sarjana Romawi itu dikumpulkan ke dalam Pandect pada abad pertama dan kedua masehi atas perintah Kaisar Justinianus. Pada masa itulah dikenal tida macam hukum yaitu ius civile, isu gentium, dan ius naturale.
Seneca (wafat 65 M) berpendapat bahwa alam merupakan ukuran bagi kebajikan dan kepatuhan. Hidup pada masa pemerintahan Romawi dihinggapi penyakit korup dan tirani, Seneca melihat sifat individualisme bisa berdampak negatif. Ia mengharapkan orang-orang baik untuk mengurus negara. Masyarakat unviersal dinilai Seneca lebih sebagai masyarakat pergaulan ketimbang sebuah negara. Ikatan antar warga lebih merupakan ikatan moril dan keagamaan ketimbangan ikatan hukum dan politik. Pemujaan Tuhan menurut Seneca adalah kewajiban manusia. Agama makin mendapatkan tempat disamping negara.
Belakangan, pengaruh kalangan Gereja mulai mencuat, St, Ambrosius dari Milan mengemukakan keyakinan tentang otonomi gereja dalam urusan keagamaan, lepas dari negara. Gereja memiliki kekuasaan atas seluruh umat Kristen, dinegra manapun mereka tinggal. Raja harus tunduk pada gereja. St. Agustinus (354-430 M) menekankan perlunya persemakmuran Kristen (Christian commonwealth). Manusia kata Augstinus adalah warga dari dua dunia sekaligus : kota kelahirannya dan kota Tuhan (city of God). Gereja adalah mewakili kerajaan Tuhan. St. Gregorius mengemukakan pemisahan agama dengan gereja beserta hukum-hukumnya, sehingga melahirkan kodifikasi yang berbeda pula antara Corpus Juris dan Corpus Juris Canonici.
Pengaruh kalangan Gereja terhadap pemikiran politik semakin meluas dan berlangsung beberapa abad. Pertentangan antara negara dengan Gereja semakin menguat dan meluas. Siapa sebenarnya membawahi siapa, apakah kedudukan Paus lebih tinggi dari raja/kaisar, atau sebaliknya. Pertentangan itu sangat kentara, misalnya antara Paus Gregorius dengan Raja Hendrik IV (kontroversi investiture). Gregorius didukung kaum papalis yang lebih menekankan aspek kerohanian, sementara kaum imperialis mendukung Hendrik.
Pemikiran negara universal juga ditandai berdirinya sejumlah perguruan tinggi di Paris dan Oxford, yang membangkitkan kembali tradisi ilmiah. Hukum-hukum Yunani dan Romawi dikaji. Tokohnya antara lain John Salisbury yang menulis buku Policratius, Thomas yang mengajarkan hubungan alam dan masyarakat, dan Dante Alleghieri tentang kerajaan yang diciptakan (the idealized empire). Thomas membedakan jenis hukum abadi, hukum alam, hukum ketuhanan, dan hukum kemanusiaan.
Raja Philip yang baik dan Puas Bonifacius VIII mencoba mencari jalan tengah pertentangan pemikiran kaum papalis dan imperialis. Batas-batas kewenangan raja/kaisar dengan Paus dibahas. Jalan dialog itu ditempuh antara lain kearena merebaknya penolakan warga terhadap wewenang Paus terhadap hukum-hukum yang berlaku di masyarakat. Sentimen nasional menguat di berbagai penjuru di sebagian wilayah Eropa. Lalu munculnya konsep sacerdotium dan Imperium yang menggambarkan kemerdekaan raja di satu pihak dan Paus di pihak lain.
Toh, pertentangan kekuasaan terus terjadi antara kedua kubu. Paus Johannes XXII berseteru dengan Raja Clement VI. Ada upaya menolak kedudukan Paus sbagai penengah internasional. Deklarasi Rense 1338 menegaskan bahwa pemilihan kekaisaran tidak lagi memerlukan pengesahan dari Paus. Marsilio dari Padua dan William dari Occam termasuk tokoh yang mengkritik keras kepemimpinan paus. Menurut mereka, untuk mengurangi kewenangan mutlak Puas yang mengatasnamakan Tuhan perlu dibentuk sebuah dewan umum. Keputusan-keputusan penting harus diambil lewat dewan ini. Willian lebih tegas lagi, menganggap teori kedaulatan Paus atas masyarakat sebagai bid’ah. Bagi Marsilio, pemimpin-pemimpin keagamaan hanyalah salah satu bagian dari kelas-kelas yang ada dalam masyarakat. Marsilio membedakan hukum Tuhan dan hukum manusia. Negara adalah sekelompok manusia yang harus tunduk pada kedua hukum itu. Hukum manusia ditentukan oleh mereka yang duduk di lembaga pembuat undang-undang. Bagi keduanya, negara dianggap sebagai kekuasaan sedunia yang harus diganti menjadi pusat kekuasaan yang tetap dan berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan yang lebih tinggi seperti Gereja.
Wewenang Paus mengatur derma, penarikan perkara dan pajak-pajak dipersoalkan. Penolakan yang semakin meluas atas kedaulatan Paus, melahirkan gerakan reformasi di tiubuh Gereja. Wycliff di Inggris dan John Hus di Bohemia mengajukan agenda pembaharuan terhadap monopolistis, hierarkis dan kekuasaan mutlak Paus. Mereka mengajukan teori pembaharuan konsili dalam hierarki pemerintahan Gereja.

D.    Teori Negara Nasional
Gerakan pembaharuan Gereja pada abad XVI melahirkanapa yang disebut Renaissance. Masa ini ditandai berkembangnya kembali pemikrian Yunani Kuno, dan feodalisme Jerman yang menyanjung hak milik pribadi. Sifat feodalisme berkembang hingga kedaerah-daerah. Akibatnya terjadi perpecahan yang serius terutama di Italia.
Untuk mengatasi kekacauan tersebut Niccolo Machiavelli (1469-1527) mengusulkan perlunya seorang raja yang bertangan besi. Ia menuding kemerostan itu sebagai akibat dan harus dipertanggungjawabkan Gereja. Karyanya yang terkenal Illegal logging Principle (Sang raja) dan Discourses of First Ten Book of Titus Livius. Buku pertama membahas pentingnya pemerintahan mutlak, sedangkan Discourses membahas perluasan wilayah Roma. Bagi Machiavelli, untuk mempersatukan Roma yang bercerai berai perlu kekuasaan absolut. Negara yang maju harus dimpimpin oleh seorang yang kuat, seorang pembuat undang-undang yang berkuasa penuh, bertangan besi (omnipotent). Machiavelli memuji sistem pemerintahan Perancis yang memusat. Urusan kenegaraan harus dipisahkan dari kesusilaan.tujuan negara adalah memperbesar kekuasaan. Tidak dipersoalkan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Bagi Machiavelli, pemerintahan yang baik boleh membunuh, asalkan tidak merampok.
Pada bagian lain, pembaharuan Gereja melahirkan Protestanisme. Kegagalam pemimpin agama membangun negara melahirkan pandangan bahwa Gereja tidak berjalan sendiri menguru pemerintahan. Reformasi ala Protestan mencampuradukkan paham politik dan perbedaan agama.teori politik dikuatkan melalui argumen keagamaan. Calvin dan Marthin Luther mengatakan bahwa warga harus tunduk kepada raja. Melakukan perlawanan terhadap penguasa adalah dosa. Tetapi John Knox, pengikut Calvin, beranggapan bahwa raja memperoleh kekuasaannya bukan karena dia mewakili Tuhan, tetapi karena ia memperoleh kekuasaannya melalui pemilihan. Raja harus bertanggungjawab karena rakyat yang memilihnya.
Sepeninggalan Calvin, pertentangan keagamaan semakin meluas ke Jerman, Belanda, Perancis dan Skotlandia. Perang saudara di Perancis sepanjang 1562-1598 diwarnai pembunuhan toko agama St. Bartholomeuw. Sebagian kaum Protestan melakukan perlawanan terhadap raja-raja yang berkuasa mutlak. Menurut Francis Hotman, kekuasaan raja harus dibatasi, ia harus dipilih rakyat. Semangat penentangan raja antara lain dituli Theodore Beza lewat buku Vindica contra tyrannos (1979).
Nama Jean Bodin patut dicatat sebagai tokoh teori nasional di Perancis. Hidup ditengah kecamuk perang saudara, Jean menulis karya Six livre de la republique yang ‘membela’ raja. Ia menggagas sebuah kedaulatan raja, lepas dari agama. Pandangan Jean melahirkan teori kedaulatan dan benih-benih konstitusionalisme. Raja beradadi atas agama dan partai politik. Jean menganjurkan agar dalam satu negara hidup beberapa agama. Perlu ada toleransi dalam bernegara. Ia mengkritik Machiavelli sebagai seorang tidak bermoral. Pandangan Aristotelesmengani negara-kota pun dia kritik sebagai sesuatu yang tidak bisa diterapkan pada masyarakat modern. Warga boleh saja membentuk kelompok (cite) berdasarkan ikatan kesusilaan atau ikatan sosial lain, tetapi mereka harus tetap tunduk kepada raja nasional. Kedaulatan negara menurut Jean tidak bisa dibatasi oleh manusia. Negaralah yang membuat, menafsirkan danmenjalankan hukum. Yang membatasi kedaulatan negara hanya hukum Tuhan. Sebab hukum kodrat berada diatas hukum buatan manusia. Ironisnya, ia menghormati hak-hak privat warga. Sabine mengkritik Jean sebagai orang yang terlalu percaya berlebihan terhadap konstitusi Perancis.
Pada awal abad ke-17 muncul gerakan pembaharuan ajaran hukum alam. Kekuasaan raja tidak lagi pandang semata-mata berasal dari alam atau Tuhan. Pemisahan urusan negara dan agama semakin mengemuka. Pemikiran yang berkembanga adalah memberi tempat tersendiri kepada Paus sebagai wakil Tuhan. Dalam konteksi ini patut dicatatnaman Johannes althusius dan Grotius. Althusius adalah penganut paham anti-kerajaan. Bergabungnya masyarakat membentuk negara merupakan kehendak alam. Atas kehendak alam, masyarakat membentuk apa yang diseut consociation. Dengan adanya perjanjian antar individu terbentuklah hubungansimbiosis, saling ketergantungan. Negara terbentuk dari kelompok-kelompok yang sudah mengikat janji secara simbiotis itu. Negara sepenuhnya berdaulat, sebab kedaulatan itulah yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya.
Tetapi Grotius membedakan kedaulatan umum dan kedaulatan khusus. Kedaulatan umum dipegang oleh negara, sedangkan kedaulatan khusus dimiliki individu. Kekuasaan politik berada tergantung pada kedaulatan rakyat (individu). Grotius mengkaji hubungan antar negara, sebagaimana filsafat kerja sama antar negara yang dikembangkan Sir Thomas More di Inggris pada masa perang saudara di sana (1640).
Thomas Hobbes (1588-1679) adalah pemikir asal Inggris yang hidup pada masa pemerintahan absolute Raja Charles I dan Charles II. Penulis buku Leviahan (negara) dan de Cive (warga negara). Pada saat yang sama Perancis dan Spanyol pun dipimpin raja absolut. Sistem pemerintahan inilah yang dia bela. Hobbes beralasan bahwa jika dibiarkan begitu saja sifat individualisme manusia akan lebih mengemuka. Jika tidak dikendalikan oleh penguasa yang kuat, manusia akan selalu bermusuhan, menganggap orang lain sebagai lawan. Keadaan demikian akan melahirkan chaos, yang disebut bellum omnium contra omnes. Agar hubungan antar individu berlansung damai, maka harus dibuat perjanjian masyarakat. Dalam perjanjian itu ditunjuk seorang pemimpin yang kuat, yang haru dipatuhi bersama.
John Locke, pemikir Inggris lainnya, meneruskan pandangan tentang perjanjian masyarkat. Bukunya Two Treaties on Civil Government menggambarkan pandangan tersebut. Namun ia mengatakan bahwa dalam perjanjian itu tida semua hak individu diserahkan kepada masyarakat. Manusia tetap memiliki hak alamiah. Pemerintahan, yang mendapat kepercayaan dari masyarakat, memeiliki kekuasaan yang terbatas. Negara membuat hukum dan peraturan berdasarkan hukum alam. Ia membedakan negara monarki (apabila kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada satu orang), aristokrasi (diserahkan kepada beberapa orang), dan demokrasi (diserahkan kepada rakyat, pemerintah hanya menjalankan).
Pada abad XVIII pandangan hukum alam mulai memudar terutama di Perancis. Sabine mencatat pemikiran sejumlah sarjana pada fase ini seperti Montesqieu yang mengajarkan pembagian kekuasaan, sosiologi dan kebebasan, serta hukum dan lingkungan. Ada juga Voltaire yang menggagas kebebasan individu. Atau, Helvetius yang membahas bangkitnya utilitarianisme Perancis. Pada masa JJ Rousseau, teori hukum alam semakin ditinggalkan. Logika semakin kuat dimana mencuat juak kehendak umum. Ia mengembangkanteori kontrak sosial. Masyarakat memiliki hak melengserkan penguasa. David hume kemudian mengembangkan berdasarkan rasio, fakta dan nilai.
Hegel mengembangkan dialektika nasionalisme, sedangkan Marx menggagas dialektika materialisme. Hegel mneyetujui pemerintahan konstitusional. Menurut dia, kekuasaan negara adalah mutlak, akan tetapi tidak boleh despotis. Kewarganegaraan bebas ditetapkan berdasarkan fungsi-fungsi sosial, bukan atas dasar hak pribadi.
Menurut Marx, negara adalah penjelmaan dari pertentangan kekuatan ekonomi. Negara dipergunakan kelompok yang kuat untuk menindas kelompok yang secara ekonomis lemah (instrument of coercion). Negara akan hilang jika didalam masyarakat tidak lagi ada kelas-kelas. Bagi kelompok pendukung fasisme, untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat maka kaum kapitasi ekonomi harus dilenyapkan.

Pengaruh Perkembangan Political Theory Terhadap Teori Hukum
A.    Teori Politik dan Hukum
Kebanyakan istilah yang lazim digunakandalam studi politik dan ketatanegaraan seperti tirani, aristokrat, politik, demokrasi, oligarki, monarki dan plutokrasi berasaldari bahasa Yunani. Dalam literatur, Yunani Kuno dan Romawi Kuno dipandang sebagai asal muasal pembahasan mengenai politik dan kenegaraan. Pandangan para sarjana pada masa itu dijadikan sebagai rujukan dalam mengkaji sejarah politik atau pemikiran politik.
Itu pula yang digambarkan oleh George H. Sabine lewat buku A History of Political Theory ini. Ia menggambarkan perkembangan teori-teori politik yang berkembangan mulai zaman Yunani Kuno hingga munculnya fasisme dan nasionalisme sosialis. Sebagai sebuah kajian sejaran, Sabine menguraikan kajiannya secara runut mulai abad kelima Sebelum Masehi hingga mejelang Perang Dunia I. Pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang periode itu dikaji lewat sudut pandang politik.
Politik dipahami banyak orang awam sebagai sesuatu yang kotor atau penuh kebohongan. Politik juga sering diidentikkan dengan masuk partai atau duduk di parlemen. Berdasarkan asal katanya, politik merujuk pada kata polis bahasa Yunani, yang dalam pengertian umum disebut kota (city). Meskipun berbicara mengenai politk selalu merujuk pada kehidupan bersama, fokus perhatian politik adalah peristiwa sehar-hari di bawah pimpinan dari suatu penguasa yang mengawasi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Penguasa itu merupakan badan hukum berbentuk negara (state). Jadi, kegiatan politik adalah kegiatan masyarakat yang dilaksanakan dibawah kekuasaan negara.1
Salah satu bagian yang dibahas dalam ilmu politik adalah teori politik. Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekwensinya. Dalam teori politik dibahas antara lain filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik dan perbandingan politik.
Materi pembahasan di atas membuat politk bersinggungan dengan hukum, terutama hukum ketatanegaraan. Seorang ahli hukum melihat negara semata-mata sebagai lembaga atau organisasi hukum, suatu badan hukum. Ahli politik melihat negara lebih dari sekedar lembaga atau asosiasi. Negara adalah sekelompok manusia yang bertindak untuk mencapai beberapa tujuan bersama. Dalam masyarakatterdapat beberapa asosiasi. Perbedaan antara engara dengan asosiasi lainnya adalah bahwa negara mempunyai wewenang untuk mengendalikan masyarakat. Pengendalian itu dilakukan lewat hukum atau perundang-undangan. Ilmu hukum sifatnya normatif dan selalu mencoba mencari unsur keadilan. Aliran ini kuat sekali pengaruhnya dalam dasar legal negara, seluruh struktur dan fungsu negara ditetapkan melalui hukum.2
Meskipun sama-sama menjadikan negara sebagai objek kajian, politik dipandang sebagai ilmu yang melihat negara lebih dinamis karena mengkaji aktivitas dan kegiatan negara, hukum (ilmu negara) lebih menekankan aspek statis dari negara. Pandangan lain menganggap politik lebih menekankan pembahasan negara dengan segala realitasnya, sedangkan ilmu hukum lebih mementingkan sisi normatifnya.3
George H. Sabine memasukkan teori politik yang dia tulis sebagai bagian dari politik. Secara sederhana teori politk didefenisikan Sabine sebagai “man’s attempts to consciously understand and solve the problems of his group life and organization”. Oleh karena itu, teori politk merupakan tradisi intelektual dan sejarahnya teridir dari evolusi pemikiran manusia mengenai masalah-masalah politik sepanjang masa.4
Menurut Miriam Budiardjo, teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan kata lain, teori politk membahas: (i) tujuan dari kegiatan politik, (ii) cara-cara mencapai tujuan itu, (iii) kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan situasi politik tertentu, dan (iv) kewajiaban yang timbul akibat tujuan politik tersebut. Konsep yang dibahas dalam teori politk mencakup antara lain masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politk dan sebagainya.5
Sebagai sebuah kajian yang dinamis, teori politik yang dipaparkan george H. Sabine menyajikan fase-fase perkembangan teori politik. Ia membaginnya ke dalam tiga fase: ajaran negara-kota (city-state), negara dunis (universal community), dan negara nasional (national state).
Menurut Sabine, pembahasan teori politik tidak bisa dipisahkan dari konsep negara-kota. Pada tahap negara kota di Yunani Kuno, jumlah warga masih sedikit sehingga mudah dikumpulkan. Warga bersama-sama membicarakan masalah bersama melalui majelis bernama Ecclesia. Inilah yang menjadi institusi politik bagi warga negara. Tetapi tidak semua warga bisa memiliki hak suara, misalnya kaum budak.
Pada masa Yunani Kuno pengertian negara, pemerintah dan masyarakat masuk sulit dibedakan. Sebab, suasana yang disebut negara tersebut masih sangat sederhana, luas wilayah dan jumlah penduduk belum sebanyak sekarang. Yunani Kuno terdiri dari sejumlah polits atau berbentuk sebuah negara-kota. Urusan kenegaraanpun masih sangat sederhana. Bentuk negara dibedakan atas jumlah penguasanya. Jika kekuasaan dipegang oleh satu orang disebut monarki, jika beberapa orang disebut oligarki, dan kekuasaan yang dipegang rakyat disebut demokrasi.
Ada dua hal yang mendorong berkembangnya fungsi dan masalah-masalah hukum dimasyarakat Yunani Kuno. Pertama, kekacauan masyarakat, pertentangan di dalam negeri, penggantian yang sering terjadi, dan perlakuan sewenang-wenang. Ini melahirkan pemikiran tentang pentingnya hukum yang lebih tinggi. Kedua, bakat istimewa bangsa Yunani untuk memperoleh suatu pengertian baik karena renungan maupun karena kecerdasan intelektual ikut memberi andil berkembangnya filsafat hukum dengan sejumlah pemikirnya.6
Cukup banyak literatur yang membahas teori politik pada zaman yunani dan Romawi Kuno. Tetapi masih terdapat perbedaan bagaimana mengidentifikasi praktek politk di abad kelima Sebelum Masehi itu. Ada yang ingin ‘politik’ ditafsirkan dan dipandang secara ketat sesuai dengan pandangan sekarang. Ada pula yang mencoba realistis, sulit memisahkan secara mutlak politik dan ekonomi dalam perkembangan masyarakat.

B.     Kedaulatan Negara
Pembahasan mengenai teori politik bersinggungan dengan kapan munculnya negara dan kapan negara memiliki kedaulatan. Pada masa negara-kota, kedaulatan berasal dari rakyat kebanyakan secara langsung. Warga biasa berkumpul membicarakan masalah kenegaraan. Perkumpulan warga itu identik dengan negara, atau sebaliknya. Kedaulatan adalah kekuasaan negara yang tertinggi. Kekuasaan disini berarti mampu memaksakan kehendak kepada pihak lain. Kedaulatan adalah unsur pembeda antara negara dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Bagi Harold J. Laski, negara adalah lembaga yang memiliki otoritas koersif yang kekuasaannya berlaku terhadap setiap individu dalam masyarakat.
Kedaulatan berasal dari pembentukan negara itu sendiri. Kapan pembentuk negara memiliki kedaulatan merupakan soal kenyataan. Bagi kaum, kalau faktanya pembentuk negara memiliki kedaulatan negara, itu berarti pembentuk negara mampu menentukan hukum dan melaksanakannya. Kedaulatan lahir bersama munculnya negara.7
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa pemegang kendali kedaulatan itu. Berdasarkan sejarah pemikiran politik yang berkembang, ada empat teori yang dikemukakan sebagai jawaban.8
·         Kelompok menganggap kedaulatan itu berasal dari dan merupakan milik Tuhan. Teori ini berkembang pada masa kalangan gereja memegang kendali atas pemerintahan di kawasan Eropa pada abd ke-V sampai ke-XV. Dalam pandangan mereka, raja adalah wakil tuhan di muka bumi.
·         Kelompok yang menganggap kedaulatan itu milik negara. Menurut jean Bodin dan George Jellinek, negaralah yang menciptakan hukum.
·         Kelompok yang mengedepankan kedaulatan hukum (rechtssouvereiteit) dari H. Krabbe, von Savigny.
·         Kelompok yang mengganggap kedaulatan berasal dari rakyat seperti digagas oleh JJ Rousseau.
Pada masa Yunani Kuno, kedaulatan itu diberikan melalui musyawrah langsung oleh seluruh warga yang punya hak. Dalam musyawarah itulah ditentukan siapa yang akan memegang kedaulatan. Menurut Plato, negara timbul karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama. Tujuan negara adalah mencapai apa yang ada di dalam ide, suatu tujuan yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang filsafat saja. Plato memang mengembangkan ajaran alam cita (ideenleer) ]
Pada masa Romawi Kuno, pengertian negara monarki, aristokrasi dan demokrasi berkembang seiring  meluasnya wilayah ekspansi dan jumlah penduduk. Ajaran Kristen membawa pandangan baru yang menjadikan manusia sebagai bagian dari masyarakat internasional. Dalam masyarakat universal, kedudukan manusia sederajat. Mereka dipimpin oleh Paus atau kaisar, yang mendapat kekuasaan dan kedaulatan dari Tuhan. Belakangan, raja tidak lagi penguasa tunggal. Lembaga perwakilan mulai dibentuk karena semakin sulitnya melaksanakan demokrasi langsung. Kekuasaan raja hanya untuk lapangan tertentu saja (omni-potent). Bahkan di Eropa Bara, raja tidak lagi berkuasa untuk pemerintahan, melainkan sekedar simbol negara. Raja atau kaisar tak lagi ditunjuk berdasarkan garis keurunan mutlak, melainkan ditunjuk oleh rakyat melalui lembaga perwakilan.
Perlunya perjanjian antar individu dalam masyarakat untuk membentuk negara juga berkembang pada masa teori negara nasional. Thomas Hobbes mengemukakankekhawatiran sifat manusia yang saling bermusuhan, bisa menimbulkan chaos. Untuk menghindari keadaan yang lebih buruk, warga membuat perjanjian masyarakat. Lewat perjanjian itulah masyarakat memberikan kedaulatan kepada penguasa.
Lewat perjanjian sosial pula orang-orang hidup damai dalam suasana saling menghormati (factum uniones). Setelah bersatu, mereka menundukkan diri atau taat kepada pemegang kekuasaan (factu subjectiones). Bagi Grotius, kontrak sosial itu membawa pengaruh yang lebih luas lagi. Bukan hanya mengikat secara intern, tetapi juga menjadi dasar yang megnikat secara hukum dalam hubungan internasional antar negara. Menurut Grotius, konstitusi suatu negara didahului oleh suatu kontrak sosial.
Melalui ajaran trias politika, Montesquieu mengusulkan perlunya pemisahan kekuasaan negara ke dalam tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan itu bertujuan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa. Dengan kata lain, tidak membeikan kemungkinan munculnya sistem pemerintahan absolut.
Pada masa teori masyrakat universal, kedaulatan yang dipegang penguasa dianggap berasal dari alam atau tuhan. Kekuasaan itu berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi: alam atau tuhan.paus adalah wakil tuhan di muka bumi,sehingga bisa mengurus masalah-masalah kenegaraan. Penguasa haarus tunduk pada pemegang kekuasaan tertinggi.tapi pandangan ini dkritik Jean Bodin, yang menganggap kekuasaan itu ada, maka atidak boleh ada kekuasaan lain yang menyamai atau melebihi. Dalam praktek, kekuasaan mutlak paus memang menimbulkan gesekan dan pertentangan. Pada masa teori masyrakat universal, pertentangan anatara kalangan negerawan dengan agamawan begitu kencang. Masyrakat terbelah ke dalam kelompok yang mendukung kaisar atau raja.
Kalangan agamawan berusaha melakukan pembaruan pandangan mereka mengenai hirarki pemerintahan.keterlibaatan paus dalam mengurus negara ditinjau ulang.pengaruhnya meluas bukan hanya di Roma, tetapi juga ke Inggris dan Perancis. Willian dari Occam misalnya mengajukan pandangan bahwa negara modern ditandai hirarki perundang-undangan. Pertama,peraturan –peraturan universal mengenai prilaku yang didiktekan oleh akal. Kedua, peraturan yang akan diterima sebagai peraturan yang rasional, dan oleh karenanya mengikat dalam masyarakat, yang diatur oleh keadilan alam tanpa hukum positif. Ketiga,peraturan yang dideduksikan dari prinsip-prinsip umum hukum alam, tetapi tidak bersifat fundamental. Ini bisa diubah oleh penguasa.
Pertanyaan mendasar mengenai negara dan kedaulatan adalah darimana sumber kekuasaan,siapa pemegang kekuasaan, dan siapa yang mengesahkan kekuasaan itu.
Kalangan pendukung aliran teokrasi pada abad V sampai abad XV seperti Agustinus, Thomas Aquinas, Marsilius menganggap kedaulatan itu berasal dari tuhan. Kaum pendukung hukum alam menganggap kedaulatan berasal dari rakyat. Rakyat memperolehnya dari alam,bukan dari tuhan.kekuasaan yang ada di tangan rakyat diserahkan kepada kaisar atau raja. Ada yang melalui perjanjian masyrakat (JJ Rousseau) ada yang melalui perjanjian langsung individu dengan raja (Thomas Hobbes).
C.    Hukum dan Konstitusi
Pada masa yunani kuno,konstitusi dalam pengertian zaman sekarang belum dikenal.tetapi dalam arti yang sederhana sudah muncul konstitusi ethena, yang dianggap sebagai tulisan xenophone. Istilah konstitusi baru muncul pada masa romawi. Meskipun demikian,maksud yang setara dengan konstitusi bisa dirujuk pada nomoi karya Plato, yaitu pada kalimat “our whole state is an imitation of the best and noblest life”. Atau Socrates yang menulis tentang politea sebagai “the soul of polis with power over it like that of the mind ovear the body”. Aristoteles menyebut tentang “in a sense the life of the city”. Tujuan tertinggi negara menurut Aristoteles adalah ‘a good life’. Mereka dianggap sudah menunjuk kepada pengertian konstitusi.9
Masalah konstitusi disinggung dalam buklu pilitics karya Aristoteles. ba ginya,konstitusi adalah aturan-atauran terbaik yang diberlakukan di suatu negara. Semua konstitusi yang mempertimbangkan kebaikan bersama adalah konstitusi yang bai. Bagi Plato, satu-satunya yang layak menyandang predikat konstitusi adalah konstitusi yang dikuasai oleh pengetahuan raja atau negarawan yang ideal.
Menurut Aristotels, klasifikasi konstitusi tergantung pada (i) the end of pursued by states; dan (ii) the kind od authority exercised by their government. Karena tujuan negara adalah kehidupan yang baik (good life),maka Aristoteles membedakan konstitusi yang baik dan konstitusi yang buruk. Konstitusi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kepentingan penguasa adalah wrong constitution.10
Kedaulatan memberikan ruang pada konstitusionalisme. Pemegang kedaulatan menyusun peraturan –peraturan dasar bernegara, literatur teori politik membagi konstitusionalisme itu ke dalam aliran hukum murni ala John Austin, dan doktrin kehendak umum versi Rousseau.
Dinegara konstitusional, orang hanya patuh pada otoritas yang mendapatkan legitimasi lewat konstitusi dan menerima konstitusi itu sebagai sumber kepatuhan bagi warga. Oleh karena itu dinegara konstitusional, konstitusi merupakan kedaulatan itu sendiri.11 pada masa Cicero di era Romawi Kuno, misalnya, konstitusi mulai dipandang sebagai aturan (lex) yang berbeda di luar dan bahkan di atas negara.
Konstitusi selalu ditemukan pada pemerintahan yang menganut sistem negara hukum dan demokrasi, konstitusi merupakan hukum dasar bagi suatu negara,sehingga isinya berupa aturan-aturan pokok saja. Hans Kelsen berpandanagan bahwa pembentukan aturan hukum suatu negara harus selalu mengacu kepada aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum dasar tersebut. Mengikuti pandangan Monstequie, konstitusi mengatur pembagian kekuasaan ke dalam genggaman legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sejalan dengan perkembangan demokrasi, konstitusi negara menjadi pegangan yang sangat kuat bagi masyarakat. Hukum bertentangan dengan konsatitusi bisa dibatalkan. Adakalanya, konstitusi membuat aturan sendiri yang mempersulit kemungkinan amandemen. Revisi terhadap konstitusi dan substansi yang diaturnya sangat tergantung pada peristiwa kenegaraan tang terjadi sepanjang sejarah. Ada beragam cara dan mekanisme perubahan konstitusi di dunia dengan taingkat kesulitan yang berbeda-beda.12
Hukum dan konstitusi umumnya membatasi kekuasaan penguasa. Bila pada masa-masa awal,kekuasaan cendrung absolute, maka dalam praktek negara demokrasi modern, kekuasaan itu dibatasi. Maurice Duverger mengajukan tiga cara untuk membatasi kekuasaan itu secara langsung. Misalnya ditentukan dalam pemilihan kepala negara secara langsung (ala negara kota), pembagian kekuasaan (montesquieu), dan pembatasan jurisdiksi. Kedua, membatasai kekuasaan penguasa dengan cara menambah atau memperkuat kekuasaan pihak yang diperintah. Kapabilitas dan kapasitas rakyat untuk menolak penguasa diperkuat, bisa saja dicantumkan lewat perundang-undangan. Ketiga, mengendalikan kezaliman penguasa suatu negara melalui intervensi pihak ketiga. Ada campur tangan masyarakat atau negara lain untuk menurunkan penguasa zalim tersebut. Cara seperti ini yang menjadi dalil Amerika Serikat menyerang Irak.

D.    Demokrasi
Demokrasi adalah praktek yang berkembang sejalan dengan dinamika politik. Hakekat demokrasi adalah pemerintahan rakyat, sesuai dengan arti kata demos dan cratien.dalam demokrasi, rakyat diikutsertakan dalam urusan kenegaraan.
Pada masa yunani,seperti diuraikan terdahulu,sebagian besar rakyat ikut menentukan kebijakan termasuk memilih pemimpin negara – kota. Yunani Kuno bukanlah suatu negara dalam pengertian modern dimana semua orang Yunani hidup di suatu negara dengan satu pemerintahan. Mereka justru hidup di sejumlah polis yang masing-masing berdiri sendiri. Pada masa itu diterapkan demokrasi langsung. Sistem pemerintahan kerakaytan ala negara kota di Athena berlangsung selama lebih dari dua abad, sampai kota itu ditaklukkan oleh negara tetangganya. Di sinilah kemungkinan pertama kali munculnya istilah demokarasi13. pada waktu yang tidak jauh berbeda, di romawi diterapkan sistem republik, yang secara harfiah berarti sesuatu yang menjadi milik rakyat (res dan publicus).14
Lambat laun, demokrsi semacam itu sulit diterapkan karena pertambangan jumlah penduduk dan peluasan wilayah. Sulit mengumpulkan seluruh warga di suatu tempat. Maka lahirnya sistem perwakilan. Pada masa masyarakat universal di abad pertengahan, yang dipakai adalah demokrasi perwakilan. Lembaga perwakilan mulai mengimbangi-sekaligus mengurangi kekuasaan kaisar atau raja. Negara-negara barat menerapkan demokrasi perwakilan.
Demkrasi telah menjadi pilihan sistem pemerintahan di berbagai penjuru dunia. Robert A. Dahl mencatat, pemerintahan demokrasi dengan berbagai tingkatan terdapat-terdapat pada kurang dari separuh negara di dunia pada akhir 1920-an. Dalam realitasnya, perkembangan demokrasi diikuti pula oleh gerakan anti demokrasi melalui paham nasionalisme fanatik dan fundamentalisme agama.15 Bahkan dalam praktek yang lebih modern, praktek demokrasi masih menghadapi hambatan yang menakutkan dalam menegakkan aturan hukum dan membentuk jaminan yang kokoh terhadap hak asasi manusia.16
Pada masa 1922, ada 29 negara dari 69 negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.jumlahnya terus meningkat hingga abad ke 20. pada tahun 1990, tercatat 58 dari 129 negara yang menganut sistem demokrasi, yang berarti setara dengan 45 persen dari jumlah total negara yang ada. (lihat tabel)

Tabel Demokratisasi di Dunia Modern
Tahun
Demokrasi
Non-demokrasi
Jumlah negara
Persentase
1922
29
35
69
45,3
1942
12
49
61
19,7
1963
36
75
111
32,4
1973
30
92
122
24,6
1990
58
71
129
45,0

Pasang surut pemberlakuan sistem demokrasi dengan segala variasinya disebut samuel huntington sebagai gelombang demokrasi. Huntington memaparkan gelombang demokrasi abad modern yang terjadi pada abad ke 20 ia menggunakan kata modern untuk membedakan praktek demokrasi yang dikenal pada masa Yunani Kuno dan abad pertengahan. Demokrasi yang meluas di kawasan Eropa, Asia dan Amerika Latin secara serentak sejak 1974 disebut Huntington sebagai gelombang demokrasi ketiga.17
Dengan demikian,demokrasi berkembang dengan berbagai variannya mulai dari pengertian yang sangat sederhana, hingga dalam pengertian modern.kaum komunis di Sovyet dan Eropa Timur menggunakan sebutan demokrasi proletar atau demokrasi rakyat, meskipun masyarakata Eropa Barat menganggap itu bukan sebagai demokrasi. Pada permulaan abad ke 19 demokrasi yang diterapkan di sejumlah negara banyak bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi, sebagaimana kemudian dikembangkan Lenin, hegel, John Stuart Mill. Lenin misalnya terkenal dengan pandangannya bahwa negara akan lenyap sama sekali jika masyarakat sudah menerima prinsip setiap orang bekerja menurut kesanggupannya dan setiap orang menerima sesuai kebutuhannya, pengikut Lenin seperti Stalin dan Kruschev menambahkan bahwa sistem ekonomi harus berdasarkan prinsip distribusi sesuai kebutuhan, dan prinsip pengakhiran kapitalisme.

E.     Negara dan Demokrasi Ekonomi
Periode teori negra nasional ditandai bangkitnya perekonomian dunia setelah revolusi industri di Inggris.paham kebebasan individu berkembang. Manusia membentuk negara melalui perjanjian masyarakat dengan jaminan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Pada abad kesembilan belas, pemikiran tentang hukum terfokus pada tiga hal: nasionalisme, materialisme, dan pandangan ilmiah. Pemikiran yang dikembangnkan Von Savigny dan Hegel langsung merujuk kepada kepercayaan mutlak bahwa negara sebagai pelindung. Materialisme menumbuhkan keyakinan atas kemampuan menyelamatkan manusia melalui kemajuan ekonomi. Dalam konteks ini muncullah dialektika materialisme Marx dan Lenin. Di negara liberal muncul John Stuart Mill, Adam Smith, dan Herbert Spencer. Pandangan ilmiah tentang hukum berakhir dalam formalisme ilmiah yang kaku, yaitu analitycal jurisprudence.18
Seiring dengan revolusi industri, pengertian demokrasi pun bergeser. Joseph Schumpeter (Capitalism, Socialism, and Democracy) mengatakan bahwa metode demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.
Kaum dialektis berpendapat bahwa dalam masyarakat pasti ada konflik antar individu,kelas atau antar warga negara.konflik, antagonisme atau kontradiksi merupakan kondisi yang diperlukan untuk melakukan perubahan sosial. Hegel, misalnya, percaya bahwa pandangan tentang dunia atau negara pastilah kontradiktif karena dunia juga mengandung kontradiksi-kontradiksi. Hegel dan Marx melukiskan dialektika masyarakat ke dalam tiga tahapan.menurut mereka,masyarakat bermula dari komunitas primitif yang homogen, individu-individu pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain. Pada tahap berikutnya, muncul tahap alienasi atau yang oleh Marx disebut kemunculan masyarakat kelas. Fase ini ditandai meningkatnya individualisme,sehingga bisa menimbulkan disintegrasi. Pada tahap ketiga, harus dilakukan negasi dari negasi dengan cara menyeimbangkan masyarakat tanpa menghilangkan hak individu.19
Dengan pengertian kompetisi di alam demokrasi, para individu dalam negara saling bersaing mendapatkan kekuasaan dari rakyat. Paham liberalisme dan kapitalisme menganggap, yang akan mendapatkan kekuasaan itu adalah orang-orang yang memegang atau mengendalikan kapital (modal). Dengan menguasai sektor-sektor perekonomian,maka kaum kapitalis bisa menguasai negara.
Sebagai reaksi terhadap kapitalisme,muncul benih-benih komunisme, sosialisme dan fasisme. Komunisme menitikberatkan bahwa penguasa negara yang lebih besar atas aset-aset. Fasisme dipahami sebagai ideologi yang menggunakan kekuasaan absolut. fasisme sering dipandang sebagai nasionalisme yang sangat fanatik, yang kemudian dipakai juga istilah ultranasionalisme. Fasisme pernah dianut semasa Mussollini di Italia atau nasionalisme sosialis ala hitler di Jerman. Kedua paham ini dapat dilacak kepada pemikiran Dante Alleghieri atau Marthin Luther.  Menurut Sabine, fasisme di Italia dan nasionalisme sosial di Jerman melahirkan rezim sosialis yang diadaptasikan kepada tujuan-tujuan negara nasional. Kekuasaan mereka peroleh melalui persekutuan partai sosialis dengan partai nasionalis.
Karl Marx, salah seorang tokoh paham ini, menganggap negara sebagai wujud pertentangan kekuatan ekonomi. Kapitalisme tak dapat dibiarkan kerena dipakai sebagai alat mengeksploitasi kaum buruh. Buruh sebagai kelas ekonomi lemah, akan selalu ditindas oleh kaum kapitalis. Oleh karena itu, kaum buruh atau proletariat harus mengambil alih kekuasaan. Kelas-kelas dalam masyarakat harus dihapuskan.
Padangan Marxis tentang konflik kelas membawa implikasi yang lebih mendasar bagi sistem sosial ketimbang teori yang membatasi pada jenis konflik kelompok. Menurut Marx, pemegang kekuasaan negara (pemerintah) hanya melayani kepentingan kelas penguasa (the ruling class). Kaum Marxis menghendaki peran pemerintah yang lebih kuat dan aktif dalam urusan sosial dan ekonomi.tetapi akibat adanya perlawanan dari kaum bermodal, pemerintah tidak mampu melaksanakan peraturan antikapitalis yang tegas.20
Kaum Marxis sepakat harus ada persamaan. Persamaan ekonomi mensyaratkan dua perubahan lainnya, yaitu demokrasi dalam hubungan perindustrian, dan nasionalisasi bisnis industri besar dan perusahaan dagang.bagi pendukung marxisme dan komunisme, nasionalisme dapat dibenarkan karena berbagai alasan. Petama,sungguh tidak adil jika keuntungan yang dihasilkan masyrakat pekerja justru hanya dinikmati segelintir pemilik modal. Keuntungan itu harus didistribusikan kepada seluruh warga, karena seluruh warga adalah penghuni bersama sebuah warga. Kedua, pemilikan pribadi atas alat-alat produksi mempengaruhi kebebasan. Harold J. Laski mengatakan bahwa pemilikan pribadi atas alat-alat produksi tidak sesuai dengan pranata demokrasi. Ketiga, nasionalisasi industri diperlukan untuk mencapai demokrasi karena akan mengurangi pertentangan dan memajukan kerja sama antar sesama pelaku industri, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas.21
Revolusi industri liberalisme,dialektika nasionalisme ala Hegel, dialektika materialisme ala Marx, komunisme,fasisme dan sosialisme nasional merupakan pemikiran politik terbaru yang dipaparkan Sabine pada fase negara nasional. Revolusi industri telah melahirkan kaum kapitalis yang sangat berpengaruh dalam kehidupan negara. kehidupan perekonomian negara diserahkan kepada pasar bebas. Asas laissez faire faire laissez alle bukan saja dipakai dalam praktek ekonomi, tetapi juga dalam aturan-aturan hukum bernegara.
Liberalisme menjunjung tinggi kebebasan individu. setiap individu memiliki keinginan yang berbeda. Menurut Jeremy Bentham (1748-1832), negara harus memberikan manfaat yang sebesar-besanya kepada warganya. Legislator harus membuat hukum yang adil bagi anggota masyarakat secara individual.
Paham individualisme yang diagung-agungkan di Eropa dan Amerika dikritik oleh pemikir asal jerman. Hegel. Paham tersebut seolah-olah mencerabut individu dari akarnya di masyarakat. Individu yang semacam itu bisa dikendalikan nafsu jahat. Individualisme dinilai Hegel sebagai penyebab kegagalan Jerman untuk mencapai negara nasional yang modern. Sebab, paham tersebut melahirkan provinsialisme dan partikularisme. Bagi Hegel, individu tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Bentuk tertinggi dari negara bagi seoarang individu tidak hanya menjadi protestan, tetapi juga seorang (keturunan) bangsa Jerman.paham inilah yang kemudian disalahgunakan oleh Hitler dengan konsep keunggulan ras aria –nya. Sebenarnya, Hegel ingin menyelaraskan moral dan agama asalkan bisa ditemukan logika sitesisnya. Filsafat Hegel pada pokonya ingin mengadakan suatu rekonstruksi yang lengkap dari pikiran modern (metode historis).menurut Hegel, eksistensi negara nasional dijamin oleh pemikiran dialektis.
Meskipun ada bebagai bentuk pemikiran atau teori politik yang berkembang, tujuannya tetap sama: mengukuhkan negara nasional. Menurut kaum liberal, negara nasional kuat bila menghargai hak-hak warga masyarakat. Sementara, kaum komunis memberikan sebagian haknya kepada negara agar bisa meminimalisir perbedaan dan perpecahan.

DAFTAR PUSTAKA

Christopher Rowe dan Malcolm Schoield (ed), The Cambridge History of Greek and Roman Political (Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

George H. Sabine, A History of Political Theory, 4th ed. Illinois: Dryden Press, 1973

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2005

Jon Elster, Karl Marx, Marxisme – Analisis Kritis (An Introduction to Karl Marx), Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar ilmu politik, Jakarta: Gramedia, 1988

Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 1988.

R.H. Soltau, Ilmu Politik (An Introduction to Politics), Jakarta: Ary Study Club, 1971

Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori Dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (On Democracy), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005

Satya Arinanto, “Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986

Soetiksno. Filsafat Hukum (Bagian 1), Jakarta: Pradnya Paramita, 2003

Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses Dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004

Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992

W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (susunan 1), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996




1 R.H. Solatau, Ilmu Politik (An Introduction to Politics),  Jakarta: Ary Study Club, 1971, hlm 4.
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar  Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1988, hlm 27.
3 Ibid, hlm 28
4 Goerge H. Sabine, A Historical of Political Theory, edisi ke-4, Illinois: Dyrden Press, 1973, hlm 3.
5 Miriam Budiardjo, op cit, hlm 30.
6 Sitiksno, Filsafat Hukum (bagian I), Jakarta: Pradnya Paramita, 2003, hlm 9.
7 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm 13.
8 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta:Liberty, 1986, hlm 152-170.
9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2005, hlm 6.
10 Ibid, hlm 7.
11 A.D. Lindsay, The Modern Democratic State (vol 1), London: Oxford University Press, 1951, hlm 224.
12 Untuk mengkaji perubahan konstitusi di Indonesia dan perbandingannya dengan berbagai negara lain Lihat, Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
13 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi; Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara singkat (On Democracy), Terjemahan A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, hlm 15-23.
14 Untuk membahas lebih lanjut perkembangan pemikiran politik di Yunani dan Romawi serta perbandingannya lihat Christoper Rowe dan Malcolm Scvhofield (ed) Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi (The Cambridge History of Greek and Roman Political), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
15 Robert A Dahl, Op Cit, hlm 2.
16 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005.
17 Samuel P. Hutington, Gelombang Demokrasi Ketiga (The Third wave: Democratization in Twentieth Century), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm 23.
18 W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan 1), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996 hlm, 109.
19 Jon Eister, Karl Marx: Marxisme-Analitis Kritis (An Introduction to Karl Marx), Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000, hlm 47-48.
20Untuk mengkaji korelasi kesejahteraan rakyat dengan ideologi, termasuk pertentangan kapitalis dengan kaum marxian, baca Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat ( Ideology and Social Welafare), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
21 Ibid, hlm. 162-164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar