Senin, 09 Maret 2015

MAKALAH PENDIDIKAN...

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai konsekuensi atas terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional, telah menerbitkan berbagai peraturan agar penyelenggaraan pendidikan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat memenuhi acuan atau standar tertentu. Berbagai standar tersebut adalah: (1) standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.1)
Dalam pencapaian standar isi (SI) yang memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dicapai oleh peserta didik setelah melalui pembelajaran dalam jenjang dan waktu tertentu, sehingga pada gilirannya mencapai standar kompetensi lulusan (SKL) setelah menyelesaikan pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu secara tuntas. Agar peserta didik dapat mencapai SK, KD, maupun SKL yang diharapkan, perlu didukung oleh berbagai standar lainnya, antara lain standar proses dan standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Untuk membantu peserta didik mencapai berbagai kompetensi yang diharapkan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Analisis terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar juga merupakan bagian sangat penting dalam mendukung keseluruhan komponen dari materi pembelajaran tersebut.
Penjabaran SK dan KD sebagai bagian dari pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilakukan melalui pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran secara umum dengan mengembangkan SK-KD menjadi indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar dan penilaian. Sebagai bagian dari langkah pengembangan silabus, pengembangan indikator merupakan langkah strategis yang berpengaruh pada kualitas pembelajaran di kelas. Kemampuan guru dan sekolah dalam mengembangkan indikator berpengaruh pada kualitas kompetensi peserta didik di sekolah tersebut.
Berbagai upaya ke arah peningkatan kualitas pendidikan tenis dilakukan. Salah satu di antaranya adalah dengan memantau secara tents menerus prestasi belajar siswa. Kegiatan evaluasi mempunyai peranan yang penting dalam pendidikan, begitu pula dalam proses pembelajaran karena dengan evaluasi dapat diketahui hasil dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan dan dari hasil tersebut dapat ditentukan tindak lanjut yang akan dilakukan.
Joesmani (berpendapat bahwa evaluasi adalah proses menentukan sampai berapa jauh kemampuan yang dapat dicapai siswa dalam proses pembelajaran. Kemampuan yang diharapkan tersebut sebelumnya sudah ditetapkan secara operasional. Selanjutnya ditetapkan pula patokan pengukuran hingga dapat diperoleh penilaian (value judgment).2)
Penilaian merupakan dasar untuk memperoleh balikan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan sistem pembelajaran secara keseluruhan yang pelaksanaannya sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan, baik terhadap proses itu sendiri maupun terhadap hasil yang dicapai. Penilaian proses itu dilakukan dengan jalan melakukan pengamatan terhadap kegiatan siswa dalam belajar dengan menggunakan panduan pengamatan. Sedangkan penilaian hasil dapat dilakukan dengan teknik-teknik tertentu, baik teknik tes maupun bukan tes.
Menurut Arikunto, tes dikatakan baik sebagai alat ukur apabila memenuhi persyaratan tes, yaitu memiliki: 1)validitas, 2)reliabilitas, 3)objektifitas, 4)praktisibilitas dan 5)ekonomis. Sebuah tes dikatan valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. 3)
Tes dikatakan reliable apabila memberikan hasil yang tepat apabila diteskan berkali-kali. Susunan tes dikatakan objektif apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki praktisibilitas tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis yaitu mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya dan dilengkapi petunjuk-petunjuk yang jelas. Sedangkan persyaratan ekonomis artinya bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama. Sekarang dengan berlakunya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) guru diberi keleluasaan dalam melakukan penilaian mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan, terutama dalam menyusun soal tes. Baik tidaknya soal tes sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam menyusun soal. Agar evaluasi yang dilakukan melalui penilaian dengan menggunakan tes sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan adanya peninjauan kembali terhadap pelaksanaan evaluasi tersebut.
Pemantauan yang baik dilakukan dengan pengukuran secara tepat lewat alat ukur yang berkualitas terhadap prestasi belajar tersebut. Yang menjadi masalah. upaya apakah yang dapat dilakukan agar diperoleh soal yang berkualitas?
Soal tes bahasa dapat berbentuk tes objektif (TO) dan dapat pula berbentuk
uraian (TU). Ada anggapan. pencapaian kualitas soal TU lebih mudah sebab tidak
terlalu dituntut persyaratan yang bermacam-macam seperti pada soal TO. Anggapan tersebut tidak benar sebab secara garis besar kedua jenis tes tersebut mempunyai tuntutan yang sama, yaitu syarat validitas dan reliabilitas. Kalau pun ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya masalah teknis pelaksanaan. Untuk memperoleh soal TU yang baik, penyusun soal perlu melewati tahap-tahap tertentu yang masing-masing tahap perlu dikontrol secara ketat. Tahap-tahap tersebut adalah perencanaan, penulisan, penelaahan, pelaksanaan tes dan penyekoran, analisis dan interpretasi, serta revisi. Lewat tahap-tahap tersebut, kualitas soal TU akan dapat ditentukan.





























BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN

A. Teori
1.   Definisi Tes
Sebelum membahas lebih lanjut tentang macam, prinsip, sampai dengan mengkonstruksi tes, maka ada baiknya kalau kita memperbincangkan terlebih dahulu definisi dari tes, pengukuran, dan penilaian. Mengapa hal ini perlu disampaikan terlebih dahulu? Karena tidak sedikit dari kita yang masih belum tepat dalam memaknai ketigal hal tersebut. Selain itu juga, agar anda mendapat gambaran yang pas tentang perbedaan diantara ketiganya, sehingga nantinya tidak lagi menimbulkan kebingungan dalam penggunaannya.
Tes dapat didefinisikan sebagai suatu pertanyaan, tugas, atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik tertentu.
2.  Prinsip Umum Penyusunan Tes Prestasi Belajar
Penyusunan tes prestasi belajar yang baik merupakan tugas pengajar yang paling menantang. Dikatakan demikian sebab tes yang berkualitas tidak dengan sendirinya terjadi, melainkan perlu dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan dipersiapkan dengan matang. Tidak mengherankan apabila Fernandez mengatakan, 'The skill in writing items is crucial”.4)
Untuk menjadi penyusun tes yang baik, penulis tes perlu memiliki pengetahuan tentang tes dan evaluasi secara baik. Prinsip-prinsip penyusunan kisi-kisi, penulisan butir soal, pemilihan format yang tepat, penyekoran, serta analisis butir perlu dikuasai, selain isi materi sebagai bahan penyusunan tes.
Sulitnya menyusun tes tampak dari survai nasional tentang pelaksanaan evaluasi oleh guru di kelas (Balitbang, Dikbud, 1990) membuktikan bahwa para guru baik tingkat SD, SLTP, maupun SLTA umumnya kurang menguasai pengetahuan tes dan evaluasi, khususnya dalam hal menyusun dan menggunakan kisi-kisi. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dalam menyusun soal dengan baik.
Pengetahuan tentang penyusunan tes dan evaluasi saja tidaklah cukup untuk menghasilkan tes yang baik. Ternyata masih diperlukan praktik menyusun tes serta menganalisisnya secara berulang-ulang untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Orang yang berpengalaman menulis soal, akan terbiasa menghadapi liku-liku permasalahan tes, yang pada akhirnya menghantarkannya pada keberhasilan penyusunan soal.
Hal itu tampak jelas pada penelitian tentang kualitas soal yang membuktikan bahwa kualitas subjek, yang antara lain tampak pada pengetahuan tes dan evaluasi serta pengalaman menulis soal berdampak langsung pada kualitas soal.5)
Selain itu, Hopkins menambahkan sebenarnya penyusunan tes adalah "lebih pada seni daripada ilmu”, dan seni menyusun tes dapat dipelajari lewat petunjuk-petunjuk yang jelas, praktik penyusunan yang terus-menerus, serta umpan balik dari apa yang disusunnya. Tes yang baik perlu direncanakan dengan hati-hati dan teliti. Petunjuk yang biasa diberikan untuk itu adalah sesuaikan tes yang disusun dengan tujuan kurikulum. bukan pada apa yang tertulis. melainkan pada apa yang diajarkan. Berikan proporsi isi materi yang tepat menurut pentingnya dan tekanannya dalam pengajaran. perhatikan tujuan diadakannya tes tersebut. 6)
Tujuan tes perlu dinyatakan secara eksplisit dan jelas, agar tes benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Dikatakan demikian sebab tes yang berkualitas dituntut memenuhi syarat validitas. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah reliabilitas tes. Faktor reliabilitas juga tidak boleh diabaikan sebab tes yang baik menuntut adanya reliabilitas itu. Semua format tes, baik TO maupun TU perlu memenuhi prinsip-prinsip kualitas tes seperti di atas. Bukan soal TO saja yang memerlukan syarat-syarat yang sudah ditentukan, akan tetapi soal TU pun perlu mengacu pada prinsip-prinsip yang sama seperti soal TO, misalnya, perlunya mengacu pada kisi-kisi, dan terpenuhinya validitas dan reliabilitas tes. Meskipun demikian, antara TO dan TU bukan berarti sama dan sebangun atau sama persis. Secara umum TO dan TU memang tidak berbeda, akan tetapi secara teknis ada sesuatu yang khas pada tes bentuk uraian yang tidak terdapat pada tes bentuk objektif.
3. Penggunaan Tes Uraian
Seperti disebutkan di atas, ada dua jenis format tes, yaitu TO dan TU. Kapan kedua jenis format itu digunakan akan bergantung pada tujuan soal tes itu. Dalam hal ini Pujiati menemukan soal- soal yang bertujuan mengungkap kognitif tingkat rendah, seperti ingatan, pemahaman, dan aplikasi sesuai menggunakan format TO. Akan tetapi, hal yang sama tidak berlaku untuk soal-soal yang lebih kompleks dengan tujuan mengungkap kognitif tinggi, seperti analisis. sintesis, serta evaluasi.7)
 Hal itu searah dengan arahan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengujian (1990) bahwa TU dapat digunakan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan pada tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Dikatakan demikian sebab kemampuan siswa akan materi yang lebih tinggi dan kompleks sangat sulit diukur dengan soal bentuk TO.8)
4. Penyusunan Tes Bahasa Bentuk Uraian
Tes bentuk uraian sangat berguna dalam penilaian hasil belajar. Banyak jenis kemampuan yang sulit diukur dengan tes bentuk lainnya, misalnya tes bentuk pilihan ganda, tetapi dapat diukur dengan lebih baik melalui tes uraian. Oleh karena itu. tes uraian banyak dipilih untuk mengukur kemampuan tertentu.
Tes bentuk uraian berisi butir soal yang memerlukan jawaban terurai. Dalam tes semacam ini siswa perlu merencanakan jawabannya sendiri dan mengekspresikan jawaban tersebut dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini, kreativitas mereka dalam memberi jawaban serta kemampuan mereka bekerja mengorganisasikan jawaban sangat terbuka. Dalam praktik pengujian tes prestasi belajar, TU digunakan oleh hampir semua penguji karena adanya beberapa kelebihan dibanding TO. Akan tetapi, TU memerlukan keahlian tersendiri dalam pemberian skor. Tidak setiap orang dapat memberi skor tes bentuk uraian dengan tepat sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran. Hanya mereka yang terlatih dan menguasai teori tes dan evaluasi yang biasanya berhasil dengan pekerjaan tersebut.
Ada pendapat, dipilihnya tes bentuk uraian karena mudahnya cara penyusunan soal. Dikatakan mudah sebab soal uraian tidak memerlukan beberapa distraktor (pilihan) yang biasa disajikan dalam soal pilihan ganda. Penyusunan distraktor merupakan pekerjaan yang tidak mudah mengingat beberapa tuntutan yang perlu dipenuhi, seperti alternatif jawaban perlu rasional, secara isi harus benar, serta mirip dengan kunci jawaban. Karena tidak adanya distraktor dalam tes uraian, benarkah menyusun tes uraian itu mudah sehingga setiap guru bisa menyusunnya?
Sebenarnya menyusun TU tidak semudah yang diperkirakan orang, kalau benar-benar ingin menghasilkan butir soal yang berkualitas. Ada beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi. Pemilihan format TU menjadi pertimbangan lagi apabila mengingat tidak mudahnya pemberian skor sesuai dengan prinsip pengukuran yang benar. Meskipun demikian hal itu bukan tidak mungkin untuk dipelajari. Berikut adalah rambu-rambu bagaimana menyusun TU dengan memenuhi kriteria dan prinsip-prinsip pengukuran.
a.       Siapkan Kisi-kisi Ujian dengan Cermat. Kisi-kisi ujian adalah suatu format yang berisi kriteria tentang soal-soal yang diperlukan oleh suatu tes. Format kisi-kisi tersebut bermacam-macam bergantung pada tujuan penggunaan tes, misalnya kisi-kisi untuk tes diagnostik berbeda dari kisi-kisi untuk seleksi. Oleh karena tidak semua penyusun kisi-kisi adalah penulis soal, maka komponen kisi-kisi perlu jelas dan mudah dipahami agar penulisan soal dapat dilaksanakan. Dengan adanya kisi-kisi, penulis soal yang berbeda, dengan kualitas sarana, diharapkan menghasilkan soal yang relatif sama, baik tingkat kedalamannya maupun cakupan materi yang dibahas. Penyusunan kisi-kisi merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam setiap penulisan soal. Demikian juga untuk penulisan soal. Khusus untuk mengukur prestasi belajar, kriteria yang digunakan adalah sesuai antara soal yang dihasilkan dengan tujuan instniksional. Menurut Balitbang yang dikutip oleh Darsono, kisi-kisi yang baik harus memenuhi kriteria di antaranya (1) dapat mewakili isi kurikulum secara tepat, (2) komponen-komponen jelas dan mudah dipahami, dan (3) dapat dilaksanakan atau disusun soalnya. Kriteria pertama tentu saja perlu dilaksanakan sebab tes menguji penguasaan materi yang sudah diajarkan, dan materi tersebut diberikan sesuai dengan kurikulum. Kriteria kedua dan ketiga juga perlu ditekankan sebab hal itu akan sangat membantu penulis tes dalam menuliskan butir soal. Komponen yang terdapat pada sebuah kisi-kisi bermacam-macam, bergantung pada model tesnya. Tes bahasa komunikatif (communicative language testing) Carroll (1985), misalnya, berisi (1) tujuan kegiatan, (2) kompetensi, (3) saluran. (4) lingkup, (5) jumlah soal, dan (6) format tes. Hal itu baik untuk format TO maupun TU. 9)
b.      Penulisan Butir Soal. Setelah kisi-kisi disiapkan tahap selanjutnya adalah menulis butir soal. Sebelum penulisan soal dilakukan, penulis soal perlu memperhatikan batasan jawaban soal, seperti kedalaman, mang lingkup soal, serta jumlah rincian. Penentuan batasan jawaban tersebut penting sebab secara langsung akan berkaitan dengan perumusan butir soal yang akan ditulis. Butir soal yang terlalu luas atau terlalu sempit perlu dihindari sebab akan menyulitkan pemberian skor.
c.       Penelaahan Soal. Soal yang sudah selesai ditulis perlu ditelaah kembali. Tujuan kegiatan itu untuk melihatdan mengkaji setiap butir soal agar menghasilkan soal dengan kualitas yang baik, sebelum soal tersebut digunakan dalam suatu perangkat tes. Penelaahan butir soal dilakukan dengan cara menyesuaikan butir soal dengan kisi-kisi tes, kurikulum, atau buku sumber. Langkah ini juga dimaksudkan untuk menjaga validitas isi tes. Telaah yang dilakukan berupa (1) telaah materi dan (2) bahasa. Telaah materi dimaksudkan untuk melihat kesesuaian antara materi yang telah diajarkan, tertera dalam kisi-kisi, dengan soal yang ditulis. Sementara telaah bahasa untuk melihat kejelasan, kebenaran, dan ketepatan bahasa yang digunakan agar soal yang ditulis dapat dipahami siswa seperti yang dikehendaki penulis soal. Penelaahan soal dapat dilakukan oleh penulis soal sendiri. Akan tetapi, akan lebih baik apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh orang lain yang bukan penulisnya. Teman sesama bidang studi atau mitra bestari dapat melakukan hal itu.
5. Macam-Macam Tes
Evaluasi pendidikan dengan memperhatikan jenjang kemampuan semakin hari semakin popular. Jenjang kemampuan ini dibuat berdasarkan sistem klasifikasi tujuan-tujuan pendidikan (taxonomy of educational objective). B.S. Bloom yang dikutip oleh Sudijono mengklasifikasikan tas tiga ranah (domain) kemampuan, yakni :
  1. Ranah kognitif (cognitive domain)
  2. Ranah sikap (effektive domain)
  3. Ranah ketempilan (psychomotor domain)10)
Penjelasan serta perincian tiap wilayah kemampuan diuraikan di bawah ini.
  1. Ranah Kognitif (cognitive domain). Bloom (1956) memperinci bidang kognitif ini atas 6 kategori (aspek), tiap kategori diperincinya pula menjadi beberapa sub kategori.
1)      Pengetahuan (knowledge)/Ingatan (recall). Aspek ingatan menekankan kepada mengingat akan fakta-fakta, prinsip-prinsip, proses dan pola-pola berbagai bidang. Tujuan pendidikan jenjang ingatan menuntut siswa dapat menyebutkan atau mengetahui tentang danya konsep, fakta atau istilah-istilah dan sebagainya tanpa harus mengerti atau menggunakannya. Ada dua sifat yang amat penting yang dipunyai butir-butir soal ingatan yang baik. Pertama, soal yang baik itu adalah soal yang isinya sama dengan isi bahan pelajaran. Kedua, bahan/isi soal tidak dalam istailah-istilah dan hubungan (setting) yang baru. Dengan kata lain soal-soal dalam tingkat ingatan adalah soal-soal yang baik isinya maupun susunannya (hubungan antara bahan-bahan itu) seperti isi dan bahan pelajaran. Pertanyaan ingatan diajukan untuk mengungkapkan ingatan siswa yang bersifat hafalan tentang : fakta kejadian, definisi, makna kata, dan seterusnya seperti yang telah pernah mereka pelajari. Siswa tidak dituntut untuk menggunakan atau memanipulasi informasi, atau fakta. Siswa hanya dituntut untuk mengingat apa yang telah dipelajarinya. Beberapa kata yang sering digunakan dalam pertanyaan ingatan antara lain : apa, siapa, di mana, bilamana, dan sebagainya atau definisikan, ingatlah, kenalilah. Hampir semua bentuk soal dapat dipergunakan untuk penyusunan soal dalam tes jenjang ingatan ini. Perlu dikemukakan di sini tentang soal-soal yang semula berisi jenjang tingkah laku yang lebih tinggi (pemahaman, aplikasi, dan sebagainya), jika sudah diterangkan (diajarkan) terlebih dahulu menjadi termasuk jenjang ingatan. Jenjang ingatan dapat dibedakan atas beberapa sub kategori dan sub-sub kategori seperti di bawah ini.
a)          Ingatan akan hal-hal khusus. Soal-soal pengetahuan akan hal-hal yang khusus penekanannya kepada benda-benda dengan rujukan benda konkrit. Aspek ini dapat dibedakan atas : (1) ingatan akan istilah, (2) ingatan akan fakta-fakta khusus.
b)          Pengetahuan akan jalan-jalan dan alat-alat yang khusus. Termasuk dalam jenjang ini adalah metoda-metoda inkuiri, urutan yang kronologis, standar perkiraan, pola-pola organisasi dalam lapangan tertentu. Jenjang ini dapat dibagi dalam beberapa kategori ini yakni : (1) ingatan akan konvensi-konvensi, penggunaan kata-kata yang sudah lazim, cara-cara benar, dan sebagainya, (3) ingatan akan kecenderungan (trend) dan urutan, (3) ingatan pengklasifikasian dan penggolongan, (4) ingatan akan patokan (kriteria), (5) ingatan tentang metoda penelitian problem-problem khusus.
c)          Pengetahuan tentang alam semesta dan perubahan-perubahan di berbagai lapangan. Pola-pola dan susunan-susunan tentang gejala-gejala dan idea-idea disusun (diorganisasikan). Jenjang kemampuan ini dapat dibedakan atas : (a) ingatan tentang prinsip-prinsip serta generalisasi, (b) ingatan tentang teori-teori dan struktur (seperti hubungan tentang prinsip-prinsip, generalisasi, dan keterkaitan).
2)      Pemahaman (comprehension). Tujuan pendidikan jenjang pemahaman menuntut siswa mengetahui bahan yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus mengbungkannya dengan hal-hal lain. Pertanyaan pemahaman mempunyai ciri yang agak jelas. Bahan-bahan tes untuk menterjemahkannya, menafsirkan, atau ekstrapopulasi janganlah sama dengan bahan-bahan yang diajarkan, tetapi hendaknya mempunyai ciri yang mirip dengan bahan pengajaran dalam hal peristiwa, simbul-simbul, dan isinya.  Pertanyaan pemahaman menuntut siswa berbuat lebih jauh dari sekedar mengingat kembali fakta, informasi yang telah dipelajarinya. Siswa dituntut dapat memperlihatkan bahwa ia telah mengerti tentang sesuatu. Siswa dapat menyusun kembali, mengoganisasikan kembali, atau dapat mengungkapkan kembali bahan-bahan yang telah dipelajarinya dengan kata-kata sendiri. Informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan tingkat pemahaman harus dipelajari terlebih dahulu. Jika informasi untuk bahan menjawab pertanyaan tersebut belum diajarkan tapi harus dicari sendiri oleh siswa maka pertanyaan demikian telah bergeser ke pertanyaan yang lebih tinggi tingkatannya. Pertanyaan pemahaman dapat dibedakan atas tiga macam.
a)        Terjemahan dari seperangkat lambang-lambang kepada lambang-lambang yang lain. Mentransfer peryataan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain, misalnya dari pernyataan verbal ke peryataan rumus.
b)        Interpretasi, ringkasan atau keterangan dalam komunikasi. Menafsirkan fakta dalam bentuk grafik, diagram, dan tabel.
c)        Ekstrapopulasi, perluasan kecenderungan di luar data yang ada (diberikan), memperkirakan akibat atau konsekuensi dari suatu hal/situasi. Beberapa kata sering dipergunakan dalam pertanyaan pemahaman antara lain: mengapa, jelaskan, uraikan, bandingkan.
3)      Penerapan/Aplikasi (application). Tujuan pendidikan jenjang aplikasi menuntut siswa mampu mempergunakan informasi untuk keperluan suatu aplikasi. Siswa dituntut untuk mempergunakan atau menerapkan sesuatu yang telah diketahuinya dalam situasi yang baru. Menciptakan situasi yang baru merupakan syarat utama dalam jenjang kemampuan aplikasi. Pertanyaan aplikasi menuntut jawaban siswa dengan menggunakan informasi yang diperoleh sebelumnya dalam situasi yang baru. Dengan demikian pertanyaan aplikasi menempatkan siswa dalam situasi pemecahan masalah yang sebenarnya walaupun dalam tingkat yang sederhana dengan menggunakan pengetahuan yang telah dipelajarinya. Siswa tidak cukup hanya sanggup mengingat kata-katanya sendiri serta menginterpretasikannya sesuatu yang telah dipelajarinya. Siswa diharapkan dapat menentukan suatu jawaban terhadap suatu pertanyaan dengan menggunakan aturan, prinsip, proses, dan sebagainya yang telah dipelajari sebelumnya dalam situasi yang baru. Sebab jika penerapan itu dilakukan pada situasi yang lama, yang sudah dikenalnya maka yang diukur bukannya jenjang aplikasi tetapi jenjang ingatan. Beberapa kata yang sering digunakan dalam perumusan pertanyaan aplikasi antara lain : gunakanlah, klasifikasikanlah, pilihlah, tulis satu contoh, pecahkanlah, kerjakannlah.
4)      Analisis (analysis). Tujuan pendidikan jenjang kemampuan analisis (analysis) menuntut siswa dapat menguraikan situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuknya. Dengan menganalisis suatu situasi maka situasi atau keadaan tersebut menjadi lebih jelas. Ada tiga tingkatan dalam proses analisis. Ketiganya digambarkan dalam bagan di bawah ini.  Pertanyaan analisis menuntut siswa berpikir secara kritis dan mendalam, bahkan menuntut siswa menciptakan (creates) pengetahuan. Untuk menjawab pertanyaan analisis, siswa harus mampu mengidentifikasi motif-motif atau sebab-sebab, atau mengadakan deduksi atau induksi. Tidak semua pertanyaan analisis hanya mempunyai satu jawaban yang benar tetapi ada beberapa alternatif. Pertanyaan analisis, sesuai dengan tingkat-tingkat proses analisis, melibatkan siswa dalam tiga proses kognitif.
a)          Mengenal motif, alasan, sebab dari kejadian tertentu.
b)          Mempertimbangkan dan menganalisis informasi yang tersedia agar mencapai suatu kesimpulan atau generalisasi berdasarkan informasi tertentu.
c)          Menganalisis suatu kesimpulan atau generalisasi untuk mencari/menemukan bukti yang menunjang atau menyangkal kesimpulan/generalisasi tersebut. Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam jenjang analisis ini adalah :
-        Kita harus waspada terhadap jawaban siswa yang bermutu, sebab jawaban itu mungkin hanya suatu reproduksi dari analisis orang lain,
-        Pertanyaan analisis tidak dapat dijawab oleh siswa hanya mengulangi informasi atau sekedar mengorganisasikannya kembali dengan kata-katanya sendiri,
-        Pertanyaan analisis menuntut siswa bukan hanya mempelajari apa yang telah terjadi tetapi menemukan alasan/sebab-sebab terjadinya sesuatu.
Kata-kata yang sering digunakan dalam rumusan analisis, antara lain : tunjukkan motif atau sebab, tariklah kesimpulan, berikan bukti-bukti, analisislah, mengapa.
5)      Sintesis (synthesis). Tujuan pendidikan jenjang sintesis menuntut siswa dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan jalan menggabungkan berbagai faktor yang ada. Sintesis dapat dibuat dari lisan menjadi tulisan, dari tulisan menjadi lisan, dari lisan menjadi lisan, dari tulisan menjadi tulisan. Dengan sistesis dapat dibuat suatu rencana atau mekanisme kerja. Semakin baik sistesis dikerjakan semakin baik pula suatu rencana kerja itu. Sintesa dapat dibuat dengan jalan menghubung-hubungkan konsep-konsep yang sudah ada. Pertanyaan sintesis dapat mengembangkan daya kreatifitas serta meningkatkan daya penalaran siswa karena jawabannya memerlukan perenungan yang mendalam. Pertanyaan sistesis menuntut siswa berpikir orisinil dan kreatif dalam menjawabnya. Siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sintesis hanya dengan mereka-reka saja. Ada tiga macam pertanyaan sintesis.
a)          Pertanyaan yang menuntut siswa membuat ramalan atau prediksi.
b)          Pertanyaan yang menuntut siswa mengungkapkan ide atau bayangan pikirannya serta menghasilkan komunikasi yang orisinil.
c)          Pertanyaan yang menuntut siswa memecahkan masalah.
Beberapa kata yang sering dipergunakan dalam pertanyaan sintesis, antara lain : ramalkan, rancanglah, kembangkan, sintesiskan, susunlah, apa yang akan terjadi apabila...., bagaimana kita dapat memecahkan...
Untuk pembahasan lebih lanjut, kita akan melihat sudut pandang klasifikasi dari Thomas Butt sebagai berikut:
  1. Tipe soal ingatan (recognition). Tipe ini biasanya meminta kepada siswa untuk mengenali atau menyebutkan fakta-fakta matematika, definisi, atau pernyataan suatu teorema/dalil. Bentuk soal yang dipakai biasanya bentuk soal benar-salah, pilihan ganda, mengisi yang kosong, atau dengan format menjodohkan. Contohnya meminta siswa menyebut teorema Pythagoras, atau meminta siswa menyebut rumus integral parsial.
  2. Tipe soal prosedural atau algoritma (algorithmic). Tipe ini menghendaki penyelesaian berupa sebuah prosedur langkah demi langkah, dan seringkali berupa algoritma hitung. Pada soal tipe ini, umumnya siswa hanya memasukkan angka atau bilangan ke dalam rumus, teorema, atau algoritma. Contohnya meminta siswa untuk mencari akar suatu persamaan kuadrat
  3. Tipe soal terapan (application). Soal aplikasi memuat penggunaan algoritma dalam konteks yang sedikit berbeda. Soal-soal cerita tradisional umumnya termasuk kategori soal aplikasi, dimana penyelesaiannya memuat: (a) merumuskan masalah, dan (b) memanipulasi simbol-simbol berdasarkan satu atau beberapa algoritma. Pada soal tipe ini umumnya siswa mudah mengenal rumus atau teorema yang harus dipergunakan. Satu-satunya keterampilan baru yang harus mereka kuasai adalah bagaimana memahami konteks masalah untuk merumuskannya secara matematis.
  4. Tipe soal terbuka (open search). Berbeda dengan tiga tipe soal sebelumnya, maka pada tipe soal terbuka ini strategi pemecahan masalah tidak tampak pada soal. Soal-soal tipe ini umumnya membutuhkan kemampuan melihat pola dan membuat dugaan. Termasuk pada tipe soal ini adalah soal-soal matematika yang berkaitan dengan teka-teki dan permainan.
  5. Tipe soal situasi (situation). Salah satu langkah krusial dalam tipe ini adalah mengidentifikasi masalah dalam situasi tersebut sehingga penyelesaian dapat dikembangkan untuk situasi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan dalam soal ini antara lain: “Berikan masukan atau pendapat kamu!”, “Bagaimana seharusnya?”, “Apa yang mesti dilakukan?”. Soal-soal dengan tipe ini jarang dinyatakan secara tuntas dalam sebuah kalimat soal. Dalam matematika, umumnya soal-soal tipe ini berkenaan dengan kegiatan mandiri atau soal proyek, di mana siswa dituntut untuk melakukan suatu percobaan, penggalian atau pengumpulan data, pemanfaatan sumber belajar baik berupa buku, media, maupun ahli (expert).11)
6. Tes Standar Tes Buatan Guru
Tujuan pendidikan jenjang evaluasi menuntut siswa dapat menilai suatu keadaan, situasi, peryataan, konsep dan sebagainya berdasarkan kriteria tertentu. Dalam evaluasi amat penting kita menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga siswa mampu mengembangkan kriteria, standar, atau ukuran yang menilai sesuatu. Kriteria, standar, atau ukuran diperlukan agar penilaian itu tidak subjektif. Kriteria untuk menilai sesuatu dapat bersifat intern dapat pula ekstern. Kriteria intern adalah kriteria yang berasal dari situasi atau keadaan yang dievaluasi itu sendiri. Sedangkan kriteria ekstern adalah kriteria yang berasal dari luar situasi atau keadaan yang dinilai itu.
Pertanyaan evaluasi merupakan pertanyaan yang menghendaki proses berpikir yang paling tinggi, karena pekerjaan menilai hanya mungkin dilakukan dengan baik apabila jenjang kognitif lainnya dari pengetahuan sampai dengan sintesis telah dikuasai. Pertanyaan evaluasi mendorong siswa untuk membedakan serta menilai berbagai ide, nilai-nilai, karya seni, pemecahan masalah, mutu suatu keputusan dan sebagainya. Pertanyaan evaluasi dapat dibedakan atas empat kategori.
  1. Pertanyaan yang menuntut siswa memberikan pendapatnya tentang berbagai persoalan yang timbul di masyarakat.
  2. Pertanyaan yang menuntut siswa mempertimbangkan serta menetapkan mutu suatu ide.
  3. Pertanyaan yang menuntut siswa untuk menentukan kepetapan berbagai cara pemecahan suatu persoalan.
  4. Pertanyaan yang menuntut siswa untuk menetapkan suatu karya seni.
Jawaban pertanyaan evaluasi dapat bermacam-macam sebab subjektivitas tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Karena itu kita harus menyadarinya bahwa ada berbagai pandangan yang berbeda bahkan kadang-kadang bertentangkan berhubung dengan itu agar suatu yang dinilai itu jelas sering perlu dilanjutkan dengan pertanyaan : mengapa, apa alasannya, dan sebagainya. Kata-kata yang sering digunakan dalam perumusan pertanyaan evaluasi, antara lain : tetapkan, putuskan, pertimbangkan, mulailah, berikan pendapat anda, mana yang terbaik, apakah anda setuju, apakah hal itu lebih baik. Penyusunan tes standar tes buatan guru bertujuan :
  1. Didasarkan atas bahan dan tujuan umum dari sekolah-sekolah di seluruh Negara
  2. Didasarkan atas bahan dan tujuan khusus yang dirumuskan oleh guru untuk kelasnya sendiri
  3. Mencakup aspek yang luas dan pengetahuan atau keterampilan dengan hanay sedikit butir tes untuk setiap keterampilan atau topic.
  4. Dapat terjadi hanya mencakup pengetahuan atau keterampilan yang sempit
  5. Disusun dengan kelengkapan staf professor, pembahas, editor, butir tes
  6. Biasanya disusun sendiri oleh guru dengan sedikit atau tanpa bantuan orang lain/tenaga ahli
  7. Menggunakan butir-butir tes yang sudah diuji cobakan (try out), dianalisis dan direvisi sebelum menjadi sebuah tes
  8. Jarang-jarang menggunakan butir-butir tes yang sudah diujicobakan, dinalisis, dan direvisi
  9. Mempunyai reliabilitas yang tinggi
  10. Mempunyai reliabilitas sedang atau rendah
  11. Dimungkinkan menggunakan norma untuk seluruh Negara
  12. Norma kelompok terbatas kelas tertentu12)
7. Persyaratan Tes Hasil Belajar
Sebuah tes dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Validitas. Dalam pembicaraan evaluasi pada umumnya orang hanya mengenal istilah “valid” untuk alat evaluasi atau instrumen evaluasi. Hingga saat ini belum banyak yang menerapkan istilah “valid” untuk data. Di sini akan coba dijelaskan pengertian “valid” untuk instrumen dimulai dari pengertian “valid” untuk data. Sebuah data atau informasi dapat dikatakn valid apabila sesuai dengan keadaan senyatanya.
  2. Reliabilitas. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Dengan kata lain, jika kepada para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan (ranking) yang sama dalam kelompoknya. Walaupun tampaknya hasil tes pada pengetesan kedua lebih baik, akan tetapi karena kenaikannya dialami oleh semua siswa, maka tes yang digunakan dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi. Kenaikan hasil tes kedua barangkali disebabkan oleh adanya “pengalaman” yang diperoleh pada waktu mengerjakan tes pertama. dalam keadaan seperti ini dikatakan bahwa ada carry-over effect atau practice effect, yaitu adanya akibat yang dibawa karena siswa telah mengalami suatu kegiatan. Jika dihubungkan dengan validitas, maka validitas adalah ketepatan dan reliabilitas adalah ketetapan.
  3. Objektivitas. Dalam pengertian sehari-hari telah diketahui bahwa objektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Lawan dari objektif adalah subjektif, artinya terdapat unsur pribadi yang mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki objektifitas apabila dalam melaksanakannya tidak ada faktor subjektifitas yang mempengaruhi. Hal ini terutama terjadi pada sistem skoringnya. Apabila dikaitkan dengan reliabilitas, maka objektifitas menekankan ketetapan/konsistensi pada scoring, sedangkan reliabilitas menekankan pada ketetapan dalam hasil tes. Ada 2 faktor yang mempengaruhi subjektifitas dari sesuatu tes, yaitu bentuk tes dan penilai.
8. Konstruksi Tes
Mengkonstruksi/mengembangkan tes bukanlah pekerjaan sepele. Dibutuhkan keprofesionalitasan dalam melakukannya. Mengkonstruk tes bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukan berarti suatu hal yang sulit ataupun menakutkan. Tahapan pengembangan/pengkonstruksian tes (lengkap) :
  1. Penentuan tujuan. Salah satu tahapan yang sangat penting dalam pengembangan tes adalah menentukan tujuan. Secara umum tes antara lain dikembangkan untuk kepentingan penempatan yang terdiri atas pretes kesiapan dan pretes penempatan, formatif, diagnostik, dan sumatif.
  2. Penyusunan kisi-kisi. Salah satu tahapan yang sangat penting dalam pembuatan dan penggunaan tes adalah mengembangkan kisi-kisi yang berguna untuk menjamin bahwa soal yang dikembangkan sesuai dengan tujuan yang hendak diukur (content validity). Namun demikian, kualitas soal sangat bergantung kepada materi yang ditanyakan, tidak bergantung kepada format yang digunakan. Kisi-kisi adalah suatu format berbentuk matrik yang memuat informasi untuk dijadikan pedoman dalam menulis soal atau merakit soal menjadi tes. Kisi-kisi tes berfungsi sebagai pedoman dalam penulisan soal dan perakitan tes. Dengan adanya panduan ini, penulis soal dapat menghasilkan soal-soal yang sesuai dengan tujuan tes dan perakit tes dapat menyusun perangkat tes dengan mudah. Dengan demikian, jika tersedia sebuah kisi-kisi yang baik, maka penulis soal yang berbed akan dapat menghasilkan perangkat soal yang relative sama, baik dari tingkat kedalaman maupun cakupan materi yang ditanyakan. Kisi-kisi yang baik harus memiliki persyaratan sebagai berikut: mewakili isi kurikulum yang akan diujikan; komponen-komponennya rinci, jelas, dan mudah dipahami; dan soal-soalnya harus dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang ditetapkan.
Pemanfaatan kisi-kisi :
1)      Untuk membuat soal yang berkualitas yang dirancang dengan sungguh-sungguh.
2)      Untuk menentukan kemampuam siswa dalam pembuatan soal.
3)      Untuk menentukan banyak soal yang dibuat serta bentuk soal.
4)      Sebagai suatu format atau matriks yang memuat informasi,kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menulis, merakit tes ,Kisi-kisi  juga disusun berdasar tujuan penggunaan tes Melalui kisi-kisi dapat diketahui arah dan tujuan setiap soal.
5)      Sebagai Pedoman dalam penulisan soal hingga menghasilkan soal sesuai dengan tujuan tes Pedoman dalam perakitan butir soal hingga terhimpun menjadi perangkat tes yang siap digunakan, Kisi-kisi yang baik akan dapat menghasilkan perangkat soal yang baik.
Komponen yang diperlukan dalam sebuah kisi-kisi sangat ditentukan oleh tujuan tes yang hendak disusun. Komponen-komponen ini dapat dihimpun menjadi dua kelompok, yaitu kelompok identitas dan kelompok matriks. kelompok identitas dicantumkan di bagian atas matriks, sedangkan kelompok matriks dicantumkan dalam kolom-kolom yang sesuai dengan tujuan tes. Komponen-komponen yang biasa digunakan dalam penyusunan kisi-kisi ts prestasi belajar adalah sebagai berikut: jenis/jenjang sekolah, mata pelajaran, tahun ajaran, kurikulum yang diacu, alokasi waktu, jumlah soal, bentuk soal, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, bahan kelas, jumlah soal, nomor urut soal, dan bentuk soal. Idealnya semua kompetensi dasar dan indikator yang ada dalam kurikulum, yang tentunya telah dilakukan dalam pembelajaran, diujikan di kelas.
  1. Penulisan. Penulisan soal merupakan salah satu langkah untuk dapat menghasilkan tes yang baik. Penulisan soal adalah karakteristik yang diuraikan dalam kisi-kisi. Soal yang digunakan dalam penilaian kelas umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)      Tes objektif yang umumnya sangat terstruktur dan mengharuskan peserta didik mengisi kata atau memilih jawaban yang benar dari sejumlah alternatif yang disajikan
2)      Tes subjektif, seperti tes uraian, yang umumnya kurang terstruktur dan mengharuskan peserta didik memilih, mengorganisasi, dan menyajikan jawaban atas pertanyaan atau pernyataan dengan kalimat sendiri
  1. Penelaahan dan perbaikan. Tahapan keempat dalam pengembangan soal adalah melihat soal dari segi kualitas untuk mengkaji berfungsi tidaknya sebuah soal, yaitu berupa telaah (review) dan perbaikan (revisi) soal. Review dan revisi soal pada prinsipnya adalah upaya untuk memperoleh informasi mengenai sejauh mana suatu soal telah berfungsi (mengukur apa yang hendak diukur sebagaimana tercantum dalam kisi-kisi) dan telah memenuhi kaidah yang telah ditetapkan, misalnya: kaidah konstruksi, bahasa, dan penulisan soal. Review dan revisi idelanya dilakukan oleh orang lain (bukan si penulis soal) dan teridir atas suatu tim penelaah yang teridir atas ahli-ahli materi, pengukuran (evaluasi), dan bahasa.
  2. Uji coba Soal. Ujicoba soal pada prinsipnya adalah upaya untuk mendpatkan informasi empiric mengenai sejauh mana sebuah soal dapat mengukur yang hendak diukur. Informasi empiric tersebut pda umumnya menyangkut segala hal yang dapat mempengaruhi validitas soal, seperti: keterbacaan soal, tingkat daya pembeda soal, pengaruh budaya, dan sebagainya. Dari hasil ujicoba akan diketahui apakah suatu soal “lebih berfungsi”
  3. Perakitan Soal. Soal-soal yang baik hasil dari ujicoba dapat dirakit sesuai dengan kebutuhan tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perakitan antara lain penyebaran soal, penyebaran tingkat kesukaran soal, daya pembeda atau validitas soal, penyebaran jawaban, dan layout tes.
9. Penyajian
Setelah tes tersusun, naskah (tes) siap diberikan atau disajikan kepada peserta didik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian tes ini adalah administrasi penyajian tes, antar lain meliputi: petunjuk pengerjaan, cara menjawab, alokasi waktu yang disediakan, ruangan, tempat duduk peserta didik, dan pengawasan. Bentuk Tes dalam penyusunannya ada dua macam yaitu :
  1. Tes hasil belajar bentuk uraian. Tes uraian sering dikenal dengan istilah tes subyektif adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan berikut ini :
1)      Tes yang berbentuk pertanyaan yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan kalimat yang pada umumnya cukup panjang.
2)      Bentuk pertanyaan yang menuntut untuk memberikan penjelasan,komentar,penafsiran,membandingkan,membedakan,dan sebagainya.
3)      Jumlah butir soal umumya terbatas yaitu berkisar antara lima sampai sepuluh soal.
4)      Pada umumya butir-butir tes uraian diawali dengan kata jelaskan,terangkan,uraikan,mengapa,bagaimana,dan sebagainya.
  1. Tes obyektif. Tes obyektif yaitu dikenal dengan istilah tes jawaban pendek,yaitu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal yang dapat dijawab dengan jalan memilih salah satu diantara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing soal.13)
Apabila TIK di tulis sangat khusus, maka satu TIK di ukur oleh satu butir soal. Tetapi jika TIK  TIK esensial, maka satu TIK dapat diukur dengan lebih dari satu butir soal :
  1. Soal ingatan. Pertanyaan ingatan biasa digunakan untuk mengukur penguasaan materi yang berupa fakta, istilah, definisi, klasifikasi atu kategori, urutan maupun kriteria.
  2. Soal pemahaman. Pertanyaan pemahaman biasanya menggunakan kata-kata perbedaan, perbandingan, menduga, menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali dan memperkirakan.
  3. Soal aplikasi. Soal aplikasi adalah soal yang mengukur kemampuan siswa dalam mengaplikasikan (menerapkan) pengetahuannya untuk memecahkan masalah sehari-hari atau persoalan yang dikemukakan oleh pembuat soal.
  4. Soal analisis. Soal analisis adalah soal yang menuntut kemampuan siswa untuk menganalisis atau menguraikan sesuatu persoalan untuk diketahui bagian-bagiannya.
  5. Soal sintesis. Yaitu sebagai kebaikan  kemampuan untuk menganalisis adalah kemampuan untuk mengadakan sintesis. Oleh karena itu soal sintesis lebih harus dimulai dengan suatu kasus.
  6. Soal evaluasi. Soal evaluasi adalah soal evaluasi yang berhubungan dengan menilai, mengambil kesimpulan, membandingkan, mempertentangkan, mengkritik, mendeskripsikkan, membedakan, menerangkan, memutuskan dan menafsirkan.
10. Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran
Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran yaitu :
  1. Langkah Perencanaan. Tidak akan berlebihan kiranya kalau diketahui di sini bahwa, sukses yang akan dapat dicapai oleh suatu program evaluasi telah turut ditentukan oleh memadai atau tidaknya langkah-langkah yang dilaksanakan dalam perencanaan ini. Sukses atau tidaknya suatu program evaluasi pada hakikatnya turut menentukan oleh baik tidaknya perencanaan. Makin sempurna kita melakukan langkah pokok perencanaan ini makin sedikitlah kesulitan-kesulitan yang akan kita jumpai dalam melaksanakan langkah-langkah berikutnya.
  2. Langkah pengumpulan data. Soal pertama yang kita hadapi dalam melakukan langkah ini ialah menentukandata apa saja yang kita butuhkan untuk melakukan tugas evaluasi yang kita butuhkan untuk melakukan tugas evaluasi yang kita hadapi dengan baik. Kalau kita rangkumkan kembali uraiannya maka kita dapat jalan pikiran yaitu rumusan tentang tugas kita sebagai seorang pengajar dalam suatu usaha pendidikan menghasilkan ketentuan-ketentuan tentang tujuan yang harus kita capai dengan materi yang kita ajarkan.
  3. Langkah penelitian data. Data yang telah terkumpul harus disaring lebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut, proses penyaringan ini kita sebut penelitian data atau verifikasi data dan maksudnya ialah untuk memisahkan data yang “baik” yang akan dapat memperjelas gambaran yang akan kita peroleh mengenai individu yang sedang kita evaluasi, dari data yang kurang baik yang hanya akan merusak atau mengaburkan gambaran yang akan kita peroleh apa bila turut kita olah juga. Oleh karna itu  kita selalu menyadari baik buruknya setiap data yang kita pergunakan untuk memperoleh data langsung dari orang yang bersangkutan oleh karena itu dalam evaluasi yang baik, kkita selalu berusaha untuk hanya mempergunakan alat-alat yang sebaik-baiknya yang tersedia bagi kita.
  4. Langkah-langkah pengolahan data. Langkah pengolahan data dilakukan untuk memberikan “makna” terhadap data yang pada kita. Jadi hal ini berarti bakwa tanpa kita olah, dan diatur lebih dulu data itu sebenarnya tidak dapat menceritakan suatu apapun kepada kita. Sering sekali seorang memiliki data yang cukup lengkap tentang seorang murid atau sekelompok murid yang sedang dievalusinya tetapi karena ia kurang pandai mengolah data yang dimilikinya tadi tidak banyaklah arti atau makna yang dapat dikeluarkannya dari datanya. Fungsi pengolahan data dalam proses evaluasi yang perlu disadari benar-benar pada tarafmemperoleh gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang diri orang yang sedang di evaluasi.
  5. Langkah penafsiran data. Kalau kita perhatikan segenap uraian yang telah di sajikan mengenai langkah data tadi akan segera tampak pada kita bahwa memisahkan langkah penafsiran dari langkah pengolahan sebenarnya merupakan suatu pemisahan yang terlalu dibuat-buat. Memang dalam praktek kedua langkah ini tidak dipisah-pisahkan kalau kita melakukan suatu pengolahan terhadap sekumpulan data, dengan sendirinya kita akan memperoleh “tafsir” makna data yang kita hadapi.
  6. Langkah meningkatkan daya serap peserta didik. Hasil pemikiran memiliki fungsi utama untuk memperbaiki tingkat penguasaan peserta didik. Hasil pengukuran secara umum dapat dikatakan bisa membantu, memperjelas tujuan instruksional, menentukan kebutuhan peserta didik, dan menentukan keberhasilan peserta didik dalam suatu proses pembelajaran.
  7. Laporan hasil penelitian. Pada akhir penggal waktu proses pembelajaran, antara lain akhir catur wulan, akhir semester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang per sekolahan, diperlukan suatu laporan kemajuan peserta didik, yang selanjutnya merupakan laporan kemajuan sekolah. Laporan ini akan memberikan bukti sejauh mana pendidikan yang diharapkan oleh anggota masyarakat khususnya orang tua peserta didik dapat tercapai.
11. Pelaksanaan Tes dan Penyekoran
Untuk tujuan-tujuan tertentu, sebelum soal digunakan soal akan diujicobakan dulu. Akan tetapi, karena alasan teknis, khawatir bocor atau yang lain, soal tes dapat langsung digunakan. Analisis dan revisi akan dibuat setelah itu dan hasil revisi akan digunakan untuk pengujian berikutnya. Setelah soal digunakan, langkah berikutnya adalah penyekoran jawaban. Untuk itu digunakan pedoman penyekoran. Dalam hal soal TU, masalah penyekoran itu tidak jarang menjadi kendala bagi penguji. Akan tetapi, sebenarnya penyekoran tersebut tidaklah sesulit dan serumit yang diperkirakan apabila pengajar menguasai caranya. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan berkaitan dengan penyekoran tersebut.
  1. Model Jawaban. Sebelum pemberian skor dilakukan, pengoreksian ujian perlu membuat contoh jawaban benar untuk setiap butir soal sebagai model. Dengan model tersebut, penyekoran akan berjalan sesuai dengan ukuran yang sama, berlaku untuk setiap jawaban pada soal yang sama. Hal ini akan lebih menyingkat waktu dan meningkatkan akurasi penyekoran.
  2. Penyekoran Keseluruhan dan Bagian demi Bagian. Penyekoran keseluruhan adalah cara penyekoran yang tidak dibagi-bagi atas elemen-elemen. Jawaban ujian dibaca secara keseluruhan. Kemudian tentukan jumlah skor untuk setiap butir soal. Biasanya cara ini dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman dalam penyekoran tes uraian. Kriteria penyekoran dibuat bertingkat, seperti sangat baik, baik, cukup, kurang baik, dan sangat kurang baik. Selain itu, ada juga yang menyusunnya sebagai baik, sedang, dan kurang. Akan lebih baik lagi apabila penyusunan kategori-kategori tersebut mengikutsertakan ahli (expert judgement). Cara penyekoran yang lain adalah bagian demi bagian. Hal ini lebih dianjurkan sebab penyekoran akan lebih teliti. Susunlah daftar poin-poin penting dalam setiap jawaban. Berikan bobot tertentu pada poin-poin tersebut. Sediakan juga skor cadangan untuk mereka yang menjawab benar atas hal-hal yang di luar daftar poin-poin penting yang sudah disiapkan.
  3. atu Butir untuk Seluruh Peserta. Bacalah jawaban satu butir soal untuk seluruh peserta tes, kemudian baru berpindah pada butir soal berikutnya. Baca juga soal tersebut untuk seluruh peserta, selanjutnya beralih pada butir soal berikutnya lagi. Demikian seterusnya sampai seluruh butir soal terbaca. Dengan cara demikian, reliabilitas skor dapat dipertahankan.
  4. Buat Poin-poin Penting untuk Setiap Jawaban Soal. Agar penyekoran dapat dilakukan dengan lebih objektif, untuk setiap soal perlu dibuat daftar poin-poin penting yang perlu ada. Sebagai contoh soal no. 1 poin-poin jawaban yang harus ada pada nomor tersebut adalah a, b, c, d, dan e. Jika jawaban seorang siswa pada nomor tersebut hanya berisi poin b, c, dan d, misalnya, maka siswa tersebut akan memperoleh skor 6. Akan tetapi, bila berisi poin d dan e saja, maka siswa bersangkutan akan memperoleh skor 4. Cara lain dapat dilakukan dengan memberi skor berupa huruf. Caranya, setiap soal ditentukan poin-poin penting yang harus ada pada setiap jawaban siswa, misalnya untuk soal no. 2, poin yang harus ada adalah a, b, dan c. Apabila lembar jawaban seorang siswa berisi semuanya, yaitu a,b, dan c, maka skornya A, bila berisi a dan b saja, misalnya, maka skomya B, dan bila berisi a saja, misalnya, maka skornya C.
  5. Analisis Tes Uraian dan Kualitas Soal. Analisis soal tes pada dasarnya pembicaraan tes berkaitan dengan kualitas tes tersebut. Dalam hal ini kualitas tes dilihat dari segi validitas dan reliabilitas.



B.  Pembahasan
Berikut ini langkah-langkah soal test :
Setelah kegiatan penentuan materi yang akan ditanyakan selesai dikerjakan, maka kegiatan berikutnya adalah menentukan secara tepat perilaku yang akan diukur. Perilaku yang akan diukur, pada Kurikulum  Berbasis Kompetensi tergantung pada tuntutan kompetensi, baik standar kompetensi maupun kompetensi dasarnya. Setiap kompetensi di dalam kurikulum memiliki tingkat keluasan dan kedalaman kemampuan yang berbeda. Semakin tinggi kemampuan/perilaku yang diukur sesuai dengan target kompetensi, maka semakin sulit soal dan semakin sulit pula menyusunnya. Dalam Standar Isi, perilaku yang akan diukur dapat dilihat pada "perilaku yang terdapat pada rumusan kompetensi dasar atau pada standar kompetensi". Bila ingin mengukur perilaku yang lebih tinggi, guru dapat mendaftar terlebih dahulu semua perilaku yang dapat diukur, mulai dari perilaku yang sangat sederhana/mudah sampai dengan perilaku yang paling sulit/tinggi, berdasarkan rumusan kompetensinya. Dari susunan perilaku itu, dipilih satu perilaku yang tepat diujikan kepada peserta didik, yaitu perilaku yang sesuai dengan kemampuan peserta didik di kelas.
1. Penentuan dan Penyebaran Soal
Sebelum menyusun kisi-kisi dan butir soal perlu ditentukan jumlah soal setiap kompetensi dasar dan penyebaran soalnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh penilaian akhir semester berikut ini.  Contoh penyebaran butir soal untuk penilaian akhir semester ganjil

No

Kompetensi
Dasar

Materi
Jumlah soal tes tulis
Jumlah soal
Praktik
PG
Uraian
1
1.1 ............
...........
6
--
--
2
1.2 ............
...........
3
1
--
3
1.3 ............
...........
4
--
1
4
2.1 ............
...........
5
1
--
5
2.2 ............
...........
8
1
--
6
3.1 ............
...........
6
--
1
7
3.2 ...........
...........
--
2
--
8
3.3 ..........
...........
8
--
--
Jumlah soal
40
5
2

2. Penyusunan Kisi-kisi
Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) merupakan deskripsi kompetensi dan materi yang akan diujikan. Tujuan penyusunan kisi-kisi adalah untuk menentukan ruang lingkup dan sebagai petunjuk dalam menulis soal. Kisi-kisi dapat berbentuk format atau matriks seperti contoh berikut ini. Format kisi-kisi penulisan soal :
Jenis sekolah        :       ………………………           Jumlah soal    :           ………………………
Mata pelajaran    :               ………………………         Bentuk soal/tes    :               ..................
Kurikulum             :               ………………………         Penyusun              :1.  …………………
Alokasi waktu      :               ………………………                                         2.  …………………
                                               
No.
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Kls/
smt
Materi
pokok
Indikator soal
Nomor
soal













Keterangan:
Isi pada kolom 2, 3. 4, dan 5 adalah harus sesuai dengan pernyataan yang ada di dalam silabus/kurikulum. Penulis kisi-kisi tidak diperkenankan mengarang sendiri, kecuali pada kolom 6.
Kisi-kisi yang baik harus memenuhi persyaratan berikut ini.
  1. Kisi-kisi harus dapat mewakili isi silabus/kurikulum atau materi yang telah diajarkan secara tepat dan proporsional.
  2. Komponen-komponennya diuraikan secara jelas dan mudah dipahami.
  3. Materi yang hendak ditanyakan dapat dibuatkan soalnya.
3. Perumusan Indikator Soal
Indikator dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal yang dikehendaki. Kegiatan perumusan indikator soal merupakan bagian dari kegiatan penyusunan kisi-kisi. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi dasar, dan standar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singkat dan jelas. Syarat indikator yang baik:
  1. Menggunakan kata kerja operasional (perilaku khusus) yang tepat,
  2. Menggunakan satu kata kerja operasional untuk soal objektif, dan satu atau lebih kata kerja operasional untuk soal uraian/tes perbuatan,
  3. Dapat dibuatkan soal atau pengecohnya (untuk soal pilihan ganda).
Penulisan indikator yang lengkap mencakup A = audience (peserta didik) , B = behaviour (perilaku yang harus ditampilkan), C = condition (kondisi yang diberikan), dan D = degree (tingkatan yang diharapkan). Ada dua model penulisan indikator. Model pertama adalah menempatkan kondisinya di awal kalimat. Model pertama ini digunakan untuk soal yang disertai dengan dasar pernyataan (stimulus), misalnya berupa sebuah kalimat, paragraf, gambar, denah, grafik, kasus, atau lainnya, sedangkan model yang kedua adalah menempatkan peserta didik dan perilaku yang harus ditampilkan di awal kalimat. Model yang kedua ini digunakan untuk soal yang tidak disertai dengan dasar pertanyaan (stimulus).

(1)           Contoh model pertama untuk soal menyimak pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
                Indikator: Diperdengarkan sebuah pernyataan pendek dengan topik "belajar mandiri", peserta didik dapat menentukan dengan tepat pernyataan yang sama artinya.
                Soal        :               (Soal dibacakan atau diperdengarkan hanya satu kali, kemudian peserta didik memilih dengan tepat satu pernyataan yang sama artinya. Soalnya adalah: "Hari harus masuk kelas pukul 7.00., tetapi dia datang pukul 8.00 pagi hari.")
Lembar tes hanya berisi pilihan seperti berikut:
a. Hari masuk kelas tepat waktu pagi ini.
b. Hari masuk kelas terlambat dua jam pagi ini
c. Hari masuk Kelas terlambat siang hari ini,
d. Hari masuk Kelas terlambat satu jam hari ini
                                                Kunci: d
(2)           Contoh model kedua
                Indikator: Peserta didik dapat menentukan dengan tepat penulisan tanda baca pada nilai uang.
                Soal        :               Penulisan nilai uang yang benar adalah ....
                a. Rp 125,-
                b. RP 125,00
                c. Rp125
                d. Rp125.
                                                                                                Kunci: b

4. Langkah-langkah Penyusunan Butir Soal
Agar soal yang disiapkan oleh setiap guru menghasilkan bahan ulangan/ujian yang sahih dan handal, maka harus dilakukan langkah-langkah berikut, yaitu: (1) menentukan tujuan tes, (2) menentukan kompetensi yang akan diujikan, (3) menentukan materi yang diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir soal berdasarkan kompetensi, materi, dan bentuk penilaiannya (tes tertulis: bentuk pilihan ganda, uraian; dan tes praktik), (5) menyusun kisi-kisinya, (6) menulis butir soal, (7) memvalidasi butir soal atau menelaah secara kualitatif, (8) merakit soal menjadi perangkat tes, (9) menyusun pedoman penskorannya (10) uji coba butir soal, (11) analisis butir soal secara kuantitatif dari data empirik hasil uji coba, dan (12) perbaikan soal berdasarkan hasil analisis.
5.  Penyusunan Butir Soal Tes Tertulis
            Penulisan butir soal tes tertulis merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam penyiapan bahan ulangan/ujian. Setiap butir soal yang ditulis harus berdasarkan rumusan indikator soal yang sudah disusun dalam kisi-kisi dan berdasarkan kaidah penulisan soal bentuk obyektif dan kaidah penulisan soal uraian.
Penggunaan bentuk soal yang tepat dalam tes tertulis, sangat tergantung pada perilaku/kompetensi yang akan diukur. Ada kompetensi yang lebih tepat diukur/ditanyakan dengan menggunakan tes tertulis dengan bentuk soal uraian, ada pula kompetensi yang lebih tepat diukur dengan menggunakan tes tertulis dengan bentuk soal objektif. Bentuk tes tertulis pilihan ganda maupun uraian memiliki kelebihan dan kelemahan satu sama lain.
Keunggulan soal bentuk pilihan ganda di antaranya adalah dapat mengukur kemampuan/perilaku secara objektif, sedangkan untuk soal uraian di antaranya adalah dapat mengukur kemampuan mengorganisasikan gagasan dan menyatakan jawabannya menurut kata-kata atau kalimat sendiri. Kelemahan soal bentuk pilihan ganda di antaranya adalah sulit menyusun pengecohnya, sedangkan untuk soal uraian di antaranya adalah sulit menyusun pedoman penskorannya.
6.  Penulisan Soal Bentuk Uraian
Menulis soal bentuk uraian diperlukan ketepatan dan kelengkapan dalam merumuskannya. Ketepatan yang dimaksud adalah bahwa materi yang ditanyakan tepat diujikan dengan bentuk uraian, yaitu menuntut peserta didik untuk mengorganisasikan gagasan dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan secara tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Adapun kelengkapan yang dimaksud adalah kelengkapan perilaku yang diukur yang digunakan untuk menetapkan aspek yang dinilai dalam pedoman penskorannya. Hal yang paling sulit dalam penulisan soal bentuk uraian adalah menyusun pedoman penskorannya. Penulis soal harus dapat merumuskan setepat-tepatnya pedoman penskorannya karena kelemahan bentuk soal uraian terletak pada tingkat subyektivitas penskorannya.
Berdasarkan metode penskorannya, bentuk uraian diklasifikasikan menjadi 2, yaitu uraian objektif dan uraian non-objektif. Bentuk uraian objektif adalah suatu soal atau pertanyaan yang menuntut sehimpunan jawaban dengan pengertian/konsep tertentu, sehingga penskorannya dapat dilakukan secara objektif. Artinya perilaku yang diukur dapat diskor secara dikotomus (benar - salah atau 1 - 0). Bentuk uraian non-objektif adalah suatu soal yang menuntut sehimpunan jawaban dengan pengertian/konsep menurut pendapat masing-masing peserta didik, sehingga penskorannya sukar untuk dilakukan secara objektif. Untuk mengurangi tingkat kesubjektifan dalam pemberian skor ini, maka dalam menentukan perilaku yang diukur dibuatkan skala. Contoh misalnya perilaku yang diukur adalah "kesesuaian isi dengan tuntutan pertanyaan", maka skala yang disusun disesuaikan dengan tingkatan kemampuan peserta didik yang akan diuji.
            Untuk tingkat SMA, misalnya dapat disusun skala seperti berikut.
  
Kesesuaiann isi dengan tuntutan pertanyaan  0 - 3
            Skor
-           Sesuai 3
-           Cukup/sedang 2
-           Tidak sesuai    1
-           Kosong            0

Atau skala seperti berikut:
Kesesuaian isi dengan tuntutan pertanyaan    0 - 5 Skor
            Skor
-           Sangat Sesuai  5
-           Sesuai  4
-           Cukup/sedang 3
-           Tidak sesuai    2
-           Sangat tidak sesuai     1
-           Kosong            0
Agar soal yang disusun bermutu baik, maka penulis soal harus memperhatikan kaidah penulisannya. Untuk memudahkan pengelolaan, perbaikan, dan pengembangan soal, maka soal ditulis di dalam format kartu soal Setiap satu soal dan pedoman penskorannya ditulis di dalam satu format. Contoh format soal bentuk uraian dan format penskorannya adalah seperti berikut ini.

KARTU SOAL

Jenis Sekolah        : ……………………............       Penyusun           :          1. ……………………
Mata Pelajaran    : ……………………...........                                                2. ……………………
Bahan Kls/Smt    : ……………………............                                               3. ……………………
Bentuk Soal          : ……………………............      Tahun Ajaran  :            ……………………….
Aspek yang diukur              : ……………………............




BUKU SUMBER:


RUMUSAN BUTIR SOAL

MATERI


NO SOAL:




INDIKATOR SOAL






KETERANGAN SOAL

NO
DIGUNAKAN UNTUK
TANGGAL
JUMLAH SISWA
TK
DP
PROPORSI PEMILIH ASPEK
KET.







A
B
C
D
E
OMT






















Format Pedoman Penskoran
NO
SOAL
KUNCI/KRITERIA JAWABAN
SKOR







Bentuk soalnya terdiri dari: (1) dasar pertanyaan/stimulus bila ada/diperlukan, (2) pertanyaan, dan (3) pedoman penskoran. Kaidah penulisan soal uraian seperti berikut­.
  1. Materi
1)      Soal harus sesuai dengan indikator.
2)      Setiap pertanyaan harus diberikan batasan jawaban yang diharapkan.
3)      Materi yang ditanyakan harus sesuai dengan tujuan peugukuran.
4)      Materi yang ditanyakan harus sesuai dengan jenjang jenis sekolah atau tingkat kelas.
  1. Konstruksi
1)      Menggunakan kata tanya/perintah yang menuntut jawaban terurai.
2)      Ada petunjuk yang jelas tentang cara mengerjakan soal.
3)      Setiap soal harus ada pedoman penskorannya.
4)      Tabel, gambar, grafik, peta, atau yang sejenisnya disajikan dengan jelas, terbaca, dan berfungsi.
  1. Bahasa
1)      Rumusan kalimat soal harus komunikatif.
2)      Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (baku).
3)      Tidak menimbulkan penafsiran ganda.
4)      Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat/tabu.
5)      Tidak mengandung kata/ungkapan yang menyinggung perasaan peserta didik.
7.  Penulisan Soal Bentuk Pilihan Ganda
Menulis soal bentuk pilihan ganda sangat diperlukan keterampilan dan ketelitian. Hal yang paling sulit dilakukan dalam menulis soal bentuk pilihan ganda adalah menuliskan pengecohnya. Pengecoh yang baik adalah pengecoh yang tingkat kerumitan atau tingkat kesederhanaan, serta panjang-pendeknya relatif sama dengan kunci jawaban. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam penulisan soal bentuk pilihan ganda, maka dalam penulisannya perlu mengikuti langkah-langkah berikut, langkah pertama adalah menuliskan pokok soalnya, langkah kedua menuliskan kunci jawabannya, langkah ketiga menuliskan pengecohnya.
Untuk memudahkan pengelolaan, perbaikan, dan perkembangan soal, maka soal ditulis di dalam format kartu soal. Setiap satu soal ditulis di dalam satu format. Adapun formatnya seperti berikut ini.


KARTU SOAL

Jenis Sekolah        :               ……………………………….           Penyusun:             1.            
Mata Pelajaran    :               ……………………………….                                           2.            
Bahan Kls/Smt    :               ……………………………….                                           3.            
Bentuk Soal          :               ……………………………….          
Tahun Ajaran      :               ……………………………….
Aspek yang diukur              :               ……………………………….



KOMPETENSI DASAR



BUKU SUMBER


RUMUSAN BUTIR SOAL



MATERI

NO SOAL:


KUNCI    :





INDIKATOR SOAL


KETERANGAN SOAL

NO
DIGUNAKAN UNTUK
TGL
JUMLAH SISWA
TK
DP
PROPORSI PEMILIH
KET.







A
B
C
D
E
OMT
































Soal bentuk pilihan ganda merupakan soal yang telah disediakan pilihan jawabannya. Peserta didik yang mengerjakan soal hanya memilih satu jawaban yang benar dari pilihan jawaban yang disediakan. Soalnya mencakup: (1) dasar pertanyaan/stimulus (bila ada), (2) pokok soal (stem), (3) pilihan jawaban yang terdiri atas: kunci jawaban dan pengecoh.  Perhatikan contoh berikut!
Kaidah penulisan soal pilihan ganda adalah seperti berikut ini.
  1. Materi
1)      Soal harus sesuai dengan indikator. Artinya soal harus menanyakan perilaku dan materi yang hendak diukur sesuai dengan rumusan indikator dalam kisi-kisi.
2)      Pengecoh harus bertungsi
3)      Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar. Artinya, satu soal hanya mempunyai satu kunci jawaban.
  1. Konstruksi
1)      Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Artinya, kemampuan/ materi yang hendak diukur/ditanyakan harus jelas, tidak menimbulkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari yang dimaksudkan penulis. Setiap butir soal hanya mengandung satu persoalan/gagasan
2)      Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang diperlukan saja. Artinya apabila terdapat rumusan atau pernyataan yang sebetulnya tidak diperlukan, maka rumusan atau pernyataan itu dihilangkan saja.
3)      Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar. Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat kata, kelompok kata, atau ungkapan yang dapat memberikan petunjuk ke arah jawaban yang benar.
4)      Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda. Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat dua kata atau lebih yang mengandung arti negatif. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalahan penafsiran peserta didik terhadap arti pernyataan yang dimaksud. Untuk keterampilan bahasa, penggunaan negatif ganda diperbolehkan bila aspek yang akan diukur justru pengertian tentang negatif ganda itu sendiri.
5)      Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi. Artinya, semua pilihan jawaban harus berasal dari materi yang sama seperti yang ditanyakan oleh pokok soal, penulisannya harus setara, dan semua pilihan jawaban harus berfungsi.
6)      Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama. Kaidah ini diperlukan karena adanya kecenderungan peserta didik memilih jawaban yang paling panjang karena seringkali jawaban yang lebih panjang itu lebih lengkap dan merupakan kunci jawaban.
7)      Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan “Semua pilihan jawaban di atas salah" atau "Semua pilihan jawaban di atas benar". Artinya dengan adanya pilihan jawaban seperti ini, maka secara materi pilihan jawaban berkurang satu karena pernyataan itu bukan merupakan materi yang ditanyakan dan pernyataan itu menjadi tidak homogen. 
8)      Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar kecilnya nilai angka atau kronologis. Artinya pilihan jawaban yang berbentuk angka harus disusun dari nilai angka paling kecil berurutan sampai nilai angka yang paling besar, dan sebaliknya. Demikian juga pilihan jawaban yang menunjukkan waktu harus disusun secara kronologis. Penyusunan secara unit dimaksudkan untuk memudahkan peserta didik melihat pilihan jawaban.
9)      Gambar, grafik, tabel, diagram, wacana, dan sejenisnya yang terdapat pada soal harus jelas dan berfungsi. Artinya, apa saja yang menyertai suatu soal yang ditanyakan harus jelas, terbaca, dapat dimengerti oleh peserta didik. Apabila soal bisa dijawab tanpa melihat gambar, grafik, tabel atau sejenisnya yang terdapat pada soal, berarti gambar, grafik, atau tabel itu tidak berfungsi.
10)  Rumusan pokok soal tidak menggunakan ungkapan atau kata yang bermakna tidak pasti seperti: sebaiknya, umumnya, kadang-kadang.
11)  Butir soal jangan bergantung pada jawaban soal sebelumnya. Ketergantungan pada soal sebelumnya menyebabkan peserta didik yang tidak dapat menjawab benar soal pertama tidak akan dapat menjawab benar soal berikutnya.
  1. Bahasa/budaya
1)      Setiap soal harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia dalam penulisan soal di antaranya meliputi: a) pemakaian kalimat: (1) unsur subyek, (2) unsur predikat, (3) anak kalimat; b) pemakaian kata: (1) pilihan kata, (2) penulisan kata, dan c) pemakaian ejaan: (1) penulisan huruf, (2) penggunaan tanda baca.
2)      Bahasa yang digunakan harus komunikatif, sehingga pernyataannya mudah dimengerti warga belajar/peserta didik.
3)      Pilihan jawaban jangan yang mengulang kata/frase yang bukan merupakan satu kesatuan pengertian. Letakkan kata/frase pada pokok soal.





BAB III
KESIMPULAN

Evaluasi adalah proses menentukan sampai berapa jauh kemampuan yang dapat dicapai siswa dalam proses pembelajaran. Kemampuan yang diharapkan tersebut sebelumnya sudah ditetapkan secara operasional. Selanjutnya ditetapkan pula patokan pengukuran hingga dapat diperoleh penilaian (value judgment). Penilaian merupakan dasar untuk memperoleh balikan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan sistem pembelajaran secara keseluruhan yang pelaksanaannya sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan, baik terhadap proses itu sendiri maupun terhadap hasil yang dicapai. Penilaian proses itu dilakukan dengan jalan melakukan pengamatan terhadap kegiatan siswa dalam belajar dengan menggunakan panduan pengamatan. Sedangkan penilaian hasil dapat dilakukan dengan teknik-teknik tertentu, baik teknik tes maupun bukan tes. Sekarang dengan berlakunya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) guru diberi keleluasaan dalam melakukan penilaian mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan, terutama dalam menyusun soal tes. Baik tidaknya soal tes sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam menyusun soal. Agar evaluasi yang dilakukan melalui penilaian dengan menggunakan tes sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan adanya peninjauan kembali terhadap pelaksanaan evaluasi tersebut.
Soal tes bahasa dapat berbentuk tes objektif (TO) dan dapat pula berbentuk
uraian (TU). Ada anggapan. pencapaian kualitas soal TU lebih mudah sebab tidak
terlalu dituntut persyaratan yang bermacam-macam seperti pada soal TO. Anggapan tersebut tidak benar sebab secara garis besar kedua jenis tes tersebut mempunyai tuntutan yang sama, yaitu syarat validitas dan reliabilitas. Kalau pun ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya masalah teknis pelaksanaan. Untuk memperoleh soal TU yang baik, penyusun soal perlu melewati tahap-tahap tertentu yang masing-masing tahap perlu dikontrol secara ketat. Tahap-tahap tersebut adalah perencanaan, penulisan, penelaahan, pelaksanaan tes dan penyekoran, analisis dan interpretasi, serta revisi. Lewat tahap-tahap tersebut, kualitas soal TU akan dapat ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Butts, Thomas. “Posing Problems Properly” dalam Krulik, S. & Reys, R. E. (editor). 1980. Problem solving in school mathematics. New York: the National Council of Teachers of Mathematics, Inc. S

Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press

Daryanto, 2008, Evaluasi Pendidikan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta

Fernandez, 1984, Testing and measurement. Jakarta: National

Hopkins & Antes, 1990, Educational And Psychological Measurement Evaluation. Massachussett: Ally and Bacon

Joesmani, 1998, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Pujiati Suyata. 1994. Perbandingan Keefektifan Aplikasi Kisi-kisi Bloom, Barrett, serta Weir dalam Penyusunan Soal Tes Pemahaman Membaca Bahasa lndonesia: Suatu Studi dalam Rangka Pengembangan Model Peramalan Kualitas Soal. Disertasi. Pasca Sarjana, IKIP Jakarta

Pusat Penelitian dan Pengembangan, Sistem Pengujian, 1999, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka

Sudijono, Anas, 2005, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta.

Suharsimi Arikunto, 2009, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


1)Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2) Joesmani, 1998, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, Hal. 19.
3) Suharsimi Arikunto, 2009, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, Hal. 57

4) Fernandez, 1984, Testing and measurement. Jakarta: National, Hal. 10

5)Pujiati Suyata. 1994. Perbandingan Keefektifan Aplikasi Kisi-kisi Bloom, Barrett, serta Weir dalam Penyusunan Soal Tes Pemahaman Membaca Bahasa lndonesia: Suatu Studi dalam Rangka Pengembangan Model Peramalan Kualitas Soal. Disertasi. Pasca Sarjana, IKIP Jakarta
6)Hopkins & Antes, 1990, Educational And Psychological Measurement Evaluation. Massachussett: Ally and Bacon, page 55

7)Pujiati Suyata. Ibid
8)Pusat Penelitian dan Pengembangan, Sistem Pengujian, 1999, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

9)Max Darsono. Dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press, Hal. 21


10)Anas Sudijono, 2005, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 77-76.

11)Butts, Thomas. “Posing Problems Properly” dalam Krulik, S. & Reys, R. E. (editor). 1980. Problem solving in school mathematics. New York: the National Council of Teachers of Mathematics, Inc. S, Hal. 20-23

12)Daryanto, 2008, Evaluasi Pendidikan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 71

13)Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, Hal. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar