Senin, 09 Maret 2015

makalah.....(beres-beres...)



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH 
Pengaruh globalisasi sudah merambah dalam kehidupan masyarakat, baik menyangkut kebutuhan primer (sandang dan pangan) sampai kepada pada peniruan gaya hidup (demonstration effect); Dan ini tidak mungkin terhindarkan bagi setiap Negara yang sistem ekonominya terbuka, seperti Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat saat ini, dimana mobilisasi informasi sudah merambah dimensi ruang yang tidak dapat dibatasi, dalam skala waktu relatif singkat.  Peristiwa penting terkait dengan pelbagai aspek kehidupan di suatu Negara, dapat segera diketahui masyarakat Negara lainnya, melalui jaringan pemberitaan media audio visual maupun internet.
Secara teoritis pengaruh globalisasi akan menyentuh pada percepatan mobilisasi tanpa batas terhadap  barang/jasa,  modal (dalam bentuk uang), manusia, informasi serta gaya hidup dan nilai-nilai sosial budaya bergaya western life style. Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 538); Globalisasi sudah terjadi sejak lama, menyatu dalam pelbagai aspek perekonomian nasional di seluruh dunia, membentuk suatu jejaring global yang menyentuh hampir semua pelaku ekonomi. Oleh karena terkait satu sama lain, maka yang terjadi di suatu sektor/Negara, akan segera berimbas ke berbagai sektor/Negara lainnya termasuk krisis ekonomi global yang terjadi saat ini. Kalau kita tinjau dari makna kata Krisis Ekonomi Global berarti krisis ekonomi secara besar-besaran yang melanda negara-negara di dunia, maka akan terbayang oleh kita sebuah kesengsaraan secara besar-besaran akan terjadi, akan ada jutaan bahkan ratusan juta orang kehilangan pekerjaan.
Pada awal krisisnya hanya sebatas melanda Negara Amerika Serikat, Eropa, dan negara Negara yang bergabung di Uni Eropa. Aliran gelombang krisis yang keras ternyata sampai dikawasan Asia. Para investor yang menanamkan modalnya pada sektor non riil mulai menarik kembali dana-dana mereka yang tertanam di lantai bursa. Penarikan dana dengan dominasi mata uang asing oleh investor di beberapa Negara kawasan Asia tujuannya adalah menutupin kerugian keuangan yang tengah melanda Negara-negara investor tersebut.
Dalam sejarah ekonomi, ternyata krisis ekonomi sering terjadi di mana-mana melanda hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001, bahkan sampai saat ini krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis finansial di Amerika Serikat. Krisis itu terjadi tidak saja di Amerika latin, Asia, Eropa, tetapi juga melanda Amerika Serikat. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat ini mempunyai efek paralel yang sangat luas, yang mampu mengguncang bursa-bursa saham di dunia. Hal ini di sebabkan karena Amerika Serikat merupakan salah satu pusat perdagangan dunia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Negara-negara yang ada di bumi ini tengah menghadapi suatu krisis keuangan secara global. Diakui ataupun tidak, krisis yang sedang dihadapi hampir semua Negara yang ada ini merupakan imbas dari krisis financial yang terjadi di Negara adidaya, Amerika Serikat. Krisis ekonomi yang terjadi di amerika serikat mengherankan banyak orang. Banyak yang terkejut mengapa Negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalamikrisis ekionomi atau moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikatdan bahkan di dunia.
Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh .Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham diberbagai belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea Selatan, dan Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia (BEI) harus disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara Indonesia.
Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Terlalu over confidance rasanya bila kita menyakini bahwa krisis ekonomi yang terjadi di negara Paman Sam (USA) tidak berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Tidak rasional pula bila kita mengabaikan begitu saja perkembangan dampak krisis finansial di Amerika Serikat, yang telah dirasakan di sebagain besar negara di daratan eropa. Kenapa saya menekankan  seperti seperti ini karena:.
1.    Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka. Bahkan dalam liberalisasi permodalan, Indonesia tergolong negara yang sangat liberal dibandingkan negara – negara di Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang lebih kapitalis ketimbang Indonesia. Dengan demikian, setelah kejadian di Amerika Serikat, para investor asing yang menanamkan modalnya melalui surat-surat berharga di Jakarta Stock Exchange tentu akan mengambil posisi mengamankan investasinya, dengan menjual saham-saham mereka di pasar modal. Hal ini terlihat dari nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus menurun. Ini berarti adacash flow cukup besar, yang bila didiamkan akan merugikan ekonomi nasional.
2.    Sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa investasi yang ditanamkan Bussinessmen asal Indonesia  serta lembaga-lembaga keuangan dari Indonesia di New York Stock Exchange (NYSE). Baru ada beberapa bank yang mengakui menanam modalnya di pasar saham Amerika Serikat. Tetapi saya meyakini, banyak investor Indonesia yang memiliki surat berharga dari lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat yang bangkrut akibat imbas kredit macet perumahan di Amerika Serikat. Dana mereka tentu saja menjadi insolven, atau tak bisa ditarik begitu saja,
3.    Dalam struktur ekspor Indonesia, Amerika Serikat adalah pasar utama produk-produk Indonesia. Sekitar 20 persen dari total ekspor Indonesia diarahkan ke Negeri Paman Sam, dan 30 persen ke Eropa. Beberapa industri tekstil dan produk tekstil yang pasar utamanya ke Amerika Serikat sudah mulai mengeluh, karena banyak permintaan dari pembeli untuk menjadwalkan kembali mengiriman barangnya, bahkan menunda pembelian. Jelas sekali, jika ekspor menurun dan impor Indonesia tetap, akan terjadi defisit yang mau tidak mau akan menurunkan cadangan devisa.
Meskipun demikian, tidak pas pula apabila muncul kekhawatiran berlebihan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat Indonesia terhadap situasi ini, sehingga tidak mempercayai kemampuan kita sendiri. Akibatnya, kebijakan yang diambil bukan berorientasi memperkuat kemampuan ekonomi bangsa, tetapi semata-mata untuk menjaga kenyamanan investor-investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia dengan menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang membahayakan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi riil. Karena itu, kita mesti menyikapi krisis keuangan Amerika Serikat secara proporsional, karena peristiwa seperti ini akan terus berulang dan akan selalu dihadapi Indonesia yang notabene telah menjadi salah satu bagian kecil ekonomi global.
Selain sektor keuangan dan perbankan krisis ekonomi global berdampak juga terhadap dunia pertanian. Dengan naiknya harga minyak mentah dunia, memaksa Indonesia  harus menaikkan harga jual BBM dalam negeri dengan tujuan untuk menyelamatkan defisit APBN dan cadangan devisa. Fenomena menarik adalah kenaikan harga komoditas perkebunan seperti sawit di pasaran internasional justru terjadi pada awal krisis subprime mortgage. Hal ini lebih bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1.    Naiknya harga minyak mentah dunia mendorong pasar untuk membeli CPO yang akan digunakan sebagai bahan bakar nabati bahan bakar yang terbarukan.
2.    Semakin banyaknya investasi di sektor kelapa sawit menyebabkan harga saham perusahaan perkebunan ikut naik.
3.    Para spekulan saham/sindikat perdagangan internasional yang melakukan aksi menaikkan harga CPO dengan harga tinggi untuk mengambil keuntungan.
Hal ini berlaku sebaliknya ketika harga saham internasional mulai mengalami depresi dan menimbulkan kepanikan di bursa saham dunia yang dibarengi dengan anjloknya harga minyak mentah dunia hingga mencapai kisaran 80 USD/barel yang sekarang sudah mencapai harga 56 USD/barel. Disaat yang bersamaan, terjadi penurunan harga CPO di pasar dunia hingga mencapai 4.835 rupiah/kg (Bandingkan dengan harga CPO pada bulan maret 2008 yang mencapai 9000 rupiah/kg) yang diikuti dengan anjloknya harga komoditi perkebunan/pertanian yang lain seperti karet, jagung, kacang kedelai, tepung dan gula di pasar dunia.
            Berdasarkan uraian diatas  maka pada makalah ini membahas tentang krisis global dan dampak terhadap perekonomian Indonesia dengan judul : ”TANTANGAN DAN PELUANG PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI  KRISIS GLOBAL.”





















BAB II
PEMBAHASAN

A.   KEBIJAKAN PERDAGANGAN, PELUANG TANTANGAN DUNIA BISNIS DAN PERAN PEMERINTAH DALAM ERA GLOBALISASI EKONOMI
1.    Kebijakan Perdagangan.
Kebijakan perdangan dalam periode memasuki era lepas landas diarahkan pada penciptaan dan pemantapan kerangka landasan perdagangan  yaitu dengan meningkatkan efisiensi perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri dengan tujuan untuk memperlancar  arus barang dan jasa, mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat, menunjang usaha peningkatan  efisiensi produksi, mengembangkan ekspor, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat serta  memantapkan stabilitas ekonomi.
            Kerangka landasan yang ingin dicapai tersebut meliputi unsur sebagai berikut :
a.    Penciptaan struktur  ekspor non migas yang kuat dan tangguh  dengan cara melakukan diversifikasi produk maupun pasar serta pelakunya,
b.    Penciptaan sistem distribusi nasional yang efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan daya saing  produk ekspor, mempertahan tingkat harga yang stabil dalam negeri,
c.    Peningkatan daya saing usaha pelaku dalam kegiatan ekonomi perdangan  baik dalam negeri maupun ekspor dengan memupuk kebersamaan  yang kokoh dalam menghadapi pasar dunia yang makin ketat,
d.    Tranpanransi pasar dan pengelolaan kegiatan perdagangan dengan membangun sistem jaringan perdagangan.
e.    Meningkatkan peran lembaga penunjang perdagangan seperti badan pelaksana bursa komoditi, pasar lelang, BPEN , dll,

2. Peluang Dan Tantangan bagi Dunia Bisnis
            Terbukanya pasar dunia akibat globalisasi ekonomi membuka peluang bisnis antara lain :
a.    Tersebarnya pasar yang lebih luas skalanya  dan terdiversifikasinya barang manufaktur dan produk yang mempunyai nilai tambah tinggi (value added products).
b.    Terjadi relokasi  industri manufaktur dari negara industri  maju ke negara-negara sedang berkembang  dengan upah buruh yang lebih murah. Sebagai konsekuensi logis dari relokasi industri tersebut, siklus proses  bahan baku menjadi  produk akhir  menjadi lebih pendek. Hal ini akan menurunkan harga  per unit serta meningkatkan volume perdagangan.
c.    Tersedianya sumber pendanaan yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih murah (bunga) karena makin beragamnya portofolio pendanaan terutama bagi negara yang sedang tumbuh perekonomiannya.
Selain memberikan peluang yang terbuka lebar bagi dunia bisnis , globalisasi ekonomi juga memberikan dampak negatif bagi dunia bisnis, antara lain :
a.    Terjadinya tranfer pricing untuk memarkir dana maupun keuntungan di negara yang menganut tax shelter (memberikan perlindungan terhadap pesembunyian kewajiban membayar pajak).
b.    Relokasi industri karena footlose industry  membawa pula teknologi kadaluwarsa ke negara sedang berkembang (host country), hal ini terjadi di negara asalnya (home country) teknologi yang dipakai industri tersebut ketinggalan jaman.
c.    Masuknya FDI (foreign direct investment) dengan  teknologi canggih, seringkali tidak diimbangi dengan  tersedianya sumberdaya manusia yang siap mengoperasikannya sehingga membuat ketergantungan pada negara asal investasi tersebut.
d.    Masuknya FDI juga seringkali menimbulkan trade off politis, yang merugikan masyarakat dan pelaku bisnis di dalam negeri.

B.  KRISIS EKONOMI GLOBAL
Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam bukunya The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologis secara komprehensif tentang krisis dunia yang pernah terjadi.  Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20 kali kris besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia. Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa dekade sebelumnya yakni mulai tahun 1860 – 1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun 1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 – 1923 German mengalami krisis dengan hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan.
Pada tahun 1929 – 1930 The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national productnya terbangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas. Kemudian 1944 – 1966 Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944 – 1946 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter.
Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits) hingga 27 digits. Pada tahun 1945 – 1948 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua. Selanjutnya tahun 1945 – 1955 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) “tenang”. Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971 – 1973 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru, namun hanya bertahan 2-3 tahun saja.
Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Pada tahun 1973 dan sesudahnya mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan floating exchange rate sistem. Periode Spekulasi; di pasar modal, uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 – 1874 krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.
Pada tahun 1974 Krisis pada Eurodollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri. Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980 itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang menarik dananya dari bank di eropa timur. Pada saat yang hampir  bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico, disebabkan outflow kapital yang massive ke US, kemudian di-treatments dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini juga menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.
Perkembangan berikutnya, pada tahun 1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal USA & UK. Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat. Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng. Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun 1998. pad saat yang hampir bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007 – hingga saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat.
Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini. Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut?. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonomi yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang. Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak para pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: “Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi”.
Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak–terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien (inefficient investment), dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.

C.  PENYEBAB KRISIS EKONOMI GLOBAL
Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global), seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa ekonomi negara-negara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global.
Sebagai sentrum perekonomian dunia krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menimbulkan efek domino yang hebat, Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar, bahkan surat kabar New York Times menyebutnya sebagai kerugian paling buruk sejak peristiwa serangan 11 September 2001.
Sebagai negara tujuan ekspor dengan tingkat daya beli paling tinggi di dunia, menurunnya perekonomian Amerika akan berdampak luas terhadap perekonomian negara lain. Logikanya, dengan menurunnya daya beli masyarakat Amerika, maka tingkat permintaan terhadap barangpun akan berkurang sehingga negara-negara dengan volume ekspor yang besar ke Amerika akan mengalami penurunan nilai ekspor. Hal ini akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara dengan tujuan ekspor ke Amerika.
Krisis ekonomi ini yang terjadi di negara Amerika Serikat, kalau kita tinjau dari latar penyebabnya ada beberapa hal:
1.    Agresi Militer Amerika Serikat Ke Irak dan Afganistan. Dengan ambisi yang besar untuk memberantas teroris yang telah meluluh lantakkan Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang berhasil menghancurkan Word Trade Centre, Presiden Amerika bertekad untuk memburu orang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan akan menghancurkannya sampai ke akar-akarnya. Irak dan Afganistan yang menurut Amerika adalah negara yang merupakan sarang dan penyandang dana untuk kelompok terorispun menjadi sasaran invasi. Kedua perang ini sampai sekarang masih terus berlangsung yang membutuhkan banyak dana sehingga pendanaan negara terfokus pada kedua perang tersebut, yang memaksa Presiden Amerika Serikat harus bolak-balik ke Kongres Amerika Serikat untuk menyakinkan kongres bahwa perang masih akan terus berlanjut dan masih membutuhkan tambahan banyak dana.
2.    Subprime Mortgage di sektor perumahan. Kata ”mortgage” berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar (kalau di Indonesia perjanjian akad kredit ada ada perbedaan sedikit). Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, seseorang mendapat kredit. Lalu, memiliki rumah. Rumah itu di serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Seseorang boleh menempatinya selama cicilan rumah tersebut belum lunas. Karena rumah itu bukan hak milik, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa di tempati dan harus pergi dari rumah tersebut. Begitu agresifnya para investment banking (perusahaan yang mirip Bank, karena perusahaan ini menerima berbagai macam deposito, tetapi tidak trikat dengan peraturan-peraturan perbankkan), sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage. Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang.Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun. Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.  Disisi lain pengusaha ingin perusahaan tumbuh semakin besar dan mendapat laba yang tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage yang seharusnya belum bisa tetapi dipaksakan dengan prinsip bila gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah rumah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman tetapi tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.
3.     Neraca Keuangan yang tidak sehat. Buruknya kinerja lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat ikut adil besar dalam krisis yang terjadi, dan diperparah dengan laporan badan-badan independen yang seharusnya memberikan analisis objektif mengenai sektor-sektor ekonomi di Amerika Serikat juga ikut dimanipulasi sedemikian rupa untuk menciptakan sentimen positif terhadap sektor perumahan namun tanpa disertai safeguard ekonomi yang memadai. Akibatnya muncul banyak kegagalan pembayaran kredit oleh para kreditor. Sebagai efek dominonya, pihak ketiga penopang kredit (yaitu badan-badan keuangan swasta) yang telah berinvestasi ratusan juta dolar banyak yang mengalami kerugian sangat besar dari sektor ini. Himpunan dana yang tadinya dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian Amerika Serikat kini tersendat dan tidak dapat diputar kembali untuk investasi. Akibatnya terjadi krisis finansial di dalam negeri yang memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi untuk meruntuhkan fondasi ekonomi Amerika.
4.    Telalu Overconfidance dalam penyaluran kredit. Karena terlalu percaya diri dalam penyaluran kredit, khususnya pada sektor perumahan sehingga orang / badan usaha yang memiliki reputasi buruk sekalipun masih mendapatkan kredit yang menyebabkan kridit besar-besaran mengalir begitu saja kepada para kreditor yang bermasah. Hal ini tentu saja akan memacu timbulnya kredit macet. Terjadinya kredit macet di sektor perumahan (sub-prime mortgage) yang menyeret terjadinya kredit macet di perbankan dan memaksa the FED (Bank Sentral Amerika Serikat)  untuk menurunkan suku bunga hingga 2%. Krisis yang terjadi di awal tahun 2008 tersebut memicu kenaikan harga minyak mentah dunia hingga mencapai rekor tertingginya di bulan Mei sebesar 147 USD/barel. Akan tetapi, krisis yang terjadi belum berakhir. Naiknya harga minyak mentah dunia membuat dunia usaha mulai kualahan dan daya beli konsumen semakin menurun, sehingga menyebabkan keragu-raguan dan ketidak pastian pasar. Kredit macet perumahan tersebut akhirnya melibas dua nama besar perusahaan di sektor finansial, Merrill Lynch dan Lehman Brothers. Harga saham di bursa saham USA (Wall Street) dan dunia mulai mengalami penurunan dan mulai memicu krisis yang berdampak pada kolapsnya bank-bank investasi maupun perusahaan-perusahaan asuransi dunia. Saat itulah Pemerintah USA menyadari bahwa krisis tersebut sudah tidak dapat dibendung, dan meminta Kongres USA menyetujui dana talangan USD 700 miliar untuk menolong sektor keuangan. Namun, langkah tersebut sudah terlambat karena kepanikan di pasar modal sudah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia.

D.  PEREKONOMIAN INDONESIA DAN DAMPAK KRISIS FINANCIAL (KRISIS EKONOMI GLOBAL)
Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat. 
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi global :
1.    Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008. Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan melebihi satudigit. Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.  Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN. Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali. Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurangi impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia.  Seperti pada tahun 2001/2002, atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga negara di Asia yang tidak terlalu terpukul ekonominya: China, India, dan Indonesia. Ketiga negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak resesi ekonomi AS. Namun demikian, krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun, yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dari sini kita tahu bahwa dampak krisis moneter di Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia tidak hanya pada melemahnya nilai tukar Rupiah, namun juga pada berbagai sector lain yang lebih rumit. Berikut akan dijelaskan dengan singkat.
2.    Rupiah Melemah. Akibat krisis moneter di Amerika Serikat, nilai tukar rupiah melemah dan sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus Rp 10.000 per USD. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih sejalan dengan beberapa mata uang lainnya. Berbeda dengan krisis 1997, BI kini juga telah mengetahui pencatatan valas perbankan. BI juga tetap waspada dan terus menjaga agar tidak terjadi pergerakan gejolak yang terlalu besar. BI sebagai bank sentral meminta pasar tidak panik menghadapi situasi saat ini. Turbulensi di pasar finansial saat ini terjadi di seluruh dunia. Bank sentral akan terus memantau perkembangan ekonomi global, dan berusaha agar dampaknya bisa seminimal mungkin.
3.    Jatuhnya Bursa Saham. Dampak lain yang terjadi akibat krisis moneter di Amerika Serikat adalah jatuhnya bursa saham yang terjadi dalam pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli ekonomi menilai kecil kemungkinan krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi berupa ambruknya perbankan dan sektor riil. Namun untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar, pemerintah sebaiknya fokus menjaga daya beli masyarakat. Pada hari Jumat tanggal 10 Oktober 2008, pemerintah membatalkan rencana pembukaan kembali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang ditutup pada hari Rabu, 8 Oktober 2008. Hal ini dilakukan karena otoritas bursa ingin melindungi emiten. Emiten perlu dilindungi dari kemungkinan keterpurukan nilai harga saham akibat sentimen negatif pasar terhadap kondisi keuangan global yang sedang krisis. Para ahli menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara maju lainnya. Di AS, krisis telah merasuk ke semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga sektor riil. Namun, di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil. Penyesuaian yang terjadi di pasar modal dan nilai tukar domestik merupakan hal wajar karena seluruh dunia terkena imbas krisis keuangan AS. Penurunan ekonomi AS dan Eropa dinilai tidak perlu dikhawatirkan mengingat peran mereka dalam perdagangan dunia makin menyusut. Sebagai gantinya, kini muncul kekuatan ekonomi baru, seperti China, India, dan Rusia. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini merupakan koreksi atas kesenjangan (gap) yang terjadi antara pertumbuhan sektor riil dan sektor finansial. Koreksi berupa penurunan harga-harga di sektor finansial dan kenaikan harga-harga di sektor riil, seperti harga komoditas.
Hal tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun krisis moneter di Amerika Serikat telah memicu krisis ekonomi global, dan di Indonesia juga terkena dampaknya dengan melemahnya nilai Rupiah dan jatuhnya pasar saham, kita tidak perlu khawatir karena krisis tersebut tidak akan melumpuhkan perekonomian Indonesia seperti yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu.

E. TANTANGAN DAN PELUANG PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI  KRISIS EKONOMI GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa melewati satu hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib satu orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai  menarik saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang.
Memang sangat ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair.
Belum lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini. Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang “hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.
Thomas R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif. Syahrial Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007. Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).
Menurut Institute for Management Development (IMD), lembaga think thank dan pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam kebijakannya. Stress test versi IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.
Seiring dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen. Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh banyak pihak.
Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi berkurang. Bila dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari system finansial kita pada periode tersebut.
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun. Dengan realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
Menurut kepala Devisi Advokasi dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di Indonesia, langkah-langkah Indoonesia dalam meghadapi krisis ekonomi ini adalah :
1.    Penciptaan ketersediaan likuiditas pasar, melalui: a. upaya Pemerintah memberikan likuiditas tambahan kepada perbankan nasional melalui penempatan rekening pemerintah kepada Bank-Bank BUMN; b. penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), GWM Rupiah diturunkan dari 9,01% menjadi 7,5%, 5% cash + 2,5% secondary reserved, GWM Valas diturunkan dari 3% menjadi 1%. Kebijakan ini berpotensi menambah likuiditas rupiah sebesar Rp50 triliun dan Valas US$721 juta; c. pemerintah menerapkan Crisis Management Protocol /CMP untuk pengelolaan SUN dengan membatalkan jadwal program penerbitan SUN mulai Oktober 2008, termasuk lelang yang dilakukan secara reguler. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah peningkatan tambahan beban utang dalam APBN maupun potensi kerugian bagi pelaku pasar domestik SUN . d. pembekuan pemberlakuan Peraturan tentang ‘marked to market’ terhadap surat berharga/efek untuk mencegak pembukuan kerugian akibat turunnya harga surat berharga/efek yang dimiliki oleh perusahaan efek dan reksa dana. e. mempercepat realisasi belanja kementerian/Lembaga sebesar Rp. 25,9 triliun; f. melakukan pembelian (buyback) saham BUMN yang telah go public melalui Pusat Investasi Pemerintah dan beberapa BUMN; g. memberikan kemudahan kepada Emiten untuk melakukan buy back, misalnya memperbesar jumlah saham yang dapat di buy back dari 10% menjadi 20%, dan dapat dilakukan tanpa perlu mendapatkan persetujuan RUPS.
2.    Menjaga kesinambungan devisa dan neraca pembayaran, dengan tindakan-tindakan, seperti: a. mendorong FDI melalui perbaikan iklim usaha secara nyata; b. mencari pembiayaan defisit anggaran dari sumber non-pasar dari luar negeri: antara lain melalui Lembaga multilateral (World Bank, IDB, JBIC), Bilateral dan Sovereign Wealth Fund;
3.    Mengupayakan “swap facility” dengan bank sentral negara lain, diantaranya Bank of China, Bank of Japan, Monetary Authority of Singapore; d. merealisasikan “Asian Bond Arrangement” (Chiang May plus refinement); e. memberlakukan wajib lapor terhadap setiap pembelian USD dalam jumlah besar, dalam rangka mencegah spekulasi dolar; f. membuat “clearing house” valas yang berasal dari valas hasil eksporimpor khusus untuk BUMN; g. mewajibkan pelaporan LC dengan dokumen dan underlying asset pada setiap Bank; h. mencegah masuknya “short term capital” dalam jumlah besar, khususnya Non-Deliverable Forward; i. memperlambat keluarnya modal dengan mempersempit “auto rejection”; j. Mengurangi impor barang konsumsi.
4.    Menjaga kesinambungan APBN 2009/2010, melalui langkah-langkah seperti: a. melakukan redefinisi “pembiayaan darurat” dalam Pasal 23 UU No. 41 tahun 2008 Tentang APBN 2009. Diamanatkan bahwa dalam keadaan darurat (krisis sistemik dalam sistem keuangan dan perbankan nasional), Pemerintah dengan persetujuan DPR dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2009; b. menambah belanja atau fokus belanja untuk sektor-sektor yang berdampak besar terhadap pertumbuhan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan; c. menambah dana risiko fiskal terhadap deviasi asumsi; d. merancang pembiayaan darurat dari pinjaman luar negeri antara lain melalui melalui private placement kepada sovereign wealth funds, lembaga multilateral dan bilateral, serta ASEAN + 3; e. melakukan relaksasi tarif pajak untuk beberapa sektor, antara lain CPO.
5.    Penerbitan dan perbaikan peraturan perundangan di sektor keuangan untuk mendukung pasar yang kuat dan kondusif, seperti: a. melakukan pelonggaran peraturan di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank (Perasuransian, Dana Pensiun, Reksa Dana dan Perusahaan Pembiayaan) terutama untuk penentuan nilai wajar surat berharga; b. melakukan suspensi sementara terhadap perdagangan di Bursa; c. menetapkan Perppu Bank Indonesia untuk memperluas jenis aset bank yang dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP); d. menetapkan Perppu LPS dan peraturan pemerintah untuk meningkatkan besaran nilai penjaminan dari sebesar Rp100 juta menjadi maksimum Rp 2 miyar untuk setiap nasabah dalam satu bank; e. menetapkan Perppu JPSK yang mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Semua upaya-upaya tersebut dilakukan dengan simultan melalui kerjasama yang baik dan kerja keras. Kalau boleh berbangga diri pada keadaan itu, bahwa kerjasama Pemerintah antar instansi bersama-sama dengan Bank Indonesia ibarat gerakan darah yang bergerak dalam tubuh bekerja secara serentak sesuai dengan mekanismenya. Demikianlah, semua pihak bekerja bahu membahu untuk menahan hantaman krisis yang dorongannya berat pada masa-masa itu. Tidaklah sesuatu yang mengherankan jika kebijakankebijakan strategis yang diambil Pemerintah tersebut mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Sejumlah analis, ekonom, politikus mengungkapkan apresiasi sebagai berikut:
Setelah terjadinya krisis finansial yang dahsyat di Amerika Serikat, yang efek dominonya dirasakan oleh seluruh negara di dunia, tanpa terkecuali Indonesa. Sebagai negara berkembang tingkat ketergantungan Indonesia kepada negara lain sangat tinggi khususnya negara yang maju. Setelah pada tanggal 8 Oktober Indek Harga Saham Gabungan terkoreksi turun mencapai level 10.38% membuat pemerintah panik dan mulai mengambil langkah-langkah pencegahan. Landkah-langkah pencegahan ini masih bersipat situasional/sementara.
1.    Buy Back oleh BUMN yang kuat. Untuk melakukan Buy Back saham-saham BUMN yang diperdagangkan di Bursa Saham, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp. 4.1 Triliyun rupiah. Pada tangggal 13 Oktober 2008 yang lalu pemerintah telah memanggil 11 BUMN yang dianggap sehat dan mampu untuk melakukan koordinasi dengan badan sekuritas. Tetapi langkah ini menimbulkan kontroversi yang luar biasa di kalangan dunia usaha, dihawatirkan langka pemerintah ini akan menimbulkan Insider Trading yaitu transaksi pengendalian oleh kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya masing-masing.
2.    Memperkuat dan mengutamakan ekonomi kerakyatan. Belajar dari pengalaman krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997, pemerintah mengambil langkah untuk memperkuat ekonomi berbasis kerakyatan seperti UKM. Untuk merangsang pertumbuhan UKM ini pemerintah tidak menaikkan suku bunga untuk KUR (Kredit Usaha Kecil) yang tetap di kisaran 6%. Kredit Ketahanan Pangan 8% dan Kredit Community Development. Jumlah kredit tersebut bisa mencapai trilyunan. Dan di sinilah, sektor riil atau ekonomi kerakyataan bisa terus berjalan dan hidup di tengah krisis finansial global.
3.    Menaikan tingkat suku bunga Bank. Pertimbangannya, dengan naiknya tingkat suku bunga, pengusaha besar tidak berani mengambil kredit. Sebab dikhawatirkan kalau pengusaha-pengusaha besar ini sampai mengambil kredit dan mereka bermain di pasar saham yang akan berakibat patal bagi perekonomian Indonesia.
4.    Mencari pasar Ekspor selain Amerika Serikat. Selama ini pangsa pasar Ekspor produk-produk Indonesia di dominasi oleh Amerika Serikat, Sebagai mana kita ketahui bahwa 20% produk ekspor kita diarahkan ke Amerika Serikat dan  sudah saatnya untuk mencari pasar diluar Amerika teruma produk-produk tektil Indonesia yang mendapat pukulan hebat akibat krisis di Amerika Serikat. Pasar ekspor ini bisa kita alihkan ke Asia, Negara-begara di Timur Tengah dan Eropa atau negara-negara lain  yang tidak mengalami krisis finansial. Pemerintah bertekad untuk meningkatkan volume eksport yang mendongkrak neraca perdagangan dan penanaman modal asing langsung (FDI). Langkah konvensional dilakukan dengan memberikan insentif kepada dunia usaha. Di sini, PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi lawas melalui Inpres 5/2008 juga terus dijalankan.
5.    Mengubah Asumsi APBN 2009. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajarannya pada hari senin tanggal 13 oktober 2008 menyampaikan usulan perubahan asumsi makro dan postur APBN 2009 kepada Panitia Anggaran DPR RI. Penyesuaian yang perlu segera dilakukan menurut menteri keuangan adalah asumsi dasar ekonomi makro sesuai dengan kondisi terakhir. Seluruh elemen asumsu makro mengalami perubahan, Pertumbuhan ekonomi year on year berubah menjadi 5,5 – 6.1% dari kesepakatan semula 6.3%, rata-rata nilai tukar rupiah mengalami perubahan sebesar 450 dari kesepakatan semula Rp 9.150, serta besaran inflasi year on year juga disesuaikan dari 6,2% menjadi 7.0%. Hal ini dilakukan karena apabila asumsi APBN 2009 tidak dilakukan akan terjadi kekurangan pembiayaan sebesar 53,9 triliun dari perubahan asumsi dan perubahan sumber pebiayaan.
6.    Jaring Pengaman Sosial. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) merupakan upaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat dalam wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu, trasparan, dapat dipertanggunjawabkan, dan memberikan akses langsung kepada masyarakat secara cepat serta berkesinambungan. Tujuan pokok program JPS adalah sebagai berikut :
a.    Menciptakan kesempatan kerja produktif bagi para penganggur di berbagai sektor kegiatan ekonomi,
b.    Meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat,
c.    Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung kondisi krisis, dan
d.    Mengkoordinasikan berbagai program pembangunan penanggulangan dampak krisis dan berbagai program penanggulangan kemiskinan.
Presiden Republik Indonesia sendiri Bapak Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 6 Oktober 2008 dalam sidang kabinet dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh seluruh menteri kabinet Indonesia Bersatu, kalangan dunia usaha, dan juga pimpinan media massa nasional, di gedung Sekretariat Negara, Jakarta, telah menetapkan 10 langkah pemerintah untuk mengurangi dampak krisis ayang terjadi di negara Paman Sam. Ke 10 langkah pemerintah yang disampaikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia itu adalah:
1.    Terus memupuk rasa optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap menjagar kepercayaan masyarakat.
2.    Pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen harus terus dipertahankan antara lain dengan terus mencari peluang ekspor dan investasi serta mengembangkan perekonomian domestik.
3.    Optimalkan APBN 2009 untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan social safety net dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM.
4.    Kalangan dunia usaha diminta tetap mendorong sektor riil agar dapat bergerak. ”Bila itu dapat dilakukan maka pajak dan penerimaan negara bisa terjaga dan juga tenaga kerja dapat terjaga.  Bank Indonesia dan perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit bisa mendorong sektor riil. Pemerintah juga akan menjalankan kewajibannya untuk memberikan insentif dan kemudahan secara proporsional.
5.    Semua pihak agar lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis antara lain dengan mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis keuangan AS. ”Kita harus mendorong produk kita agar kompetitif dan memiliki daya saing yang baik,”.
6.    Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat. ”Kepada para menteri saya minta untuk memberikan insentif dan disinsentif agar penggunaan produk dalam negeri dapat meningkat, kalau perlu juga akan dikeluarkan instruksi agar pengadaan barang dan jasa di departemen mengutamakan produk dalam negeri,” kata Presiden.
7.    Perkuatan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, Bank Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta. ”Cegah timbulnya ketidakpercayaan dan saya ingatkan semua pihak memiliki peran yang penting,” ujarnya.
8.    Semua kalangan diminta menghindari sikap ego sentris dan memandang remeh masalah yang dihadapi. ”Hilangkan budaya ego sentris dan juga kebiasaan ’bussines as ussual’,” tegas.
9.    Berkait dengan tahun politik pada 2009, semua pihak diminta memiliki pandangan politik nonpartisan serta mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan maupun pribadi termasuk dalam kebijakan-kebijakan politik.
10. Semua pihak diminta melakukan komunikasi yang tepat dan baik pada masyarakat.  Tak hanya pemerintah dan kalangan pengusaha serta perbankan.
Selain 10 langkah tersebut di atas pemerintah juga menyiapkan beberapa langkah antisifasi lainnya, dibidang fiskal, moneterr danperbankkan dan stimulus lainnya. Dibidang fiskal pemerintah mengambil langkah-langkah;
1.    Percepatan pencairan belanja pemerintah
2.    Pembangunan infrastruktur dan memperbanyak proyek padat karya.
3.    Subsidi pajak dan bea masuk sektor riil perlu segera di implementasikan
4.    Kemudahan dan percepatan waktu restitusi pajak untuk perusahaan berorientasi eksport
5.    Intensif pajak untuk investasi di daerah terpencil
6.    Pemberlakuan amnesti pajak
Dibidang Moneter dan Perbankkan langkah yang diambil oleh pemerintah
1.    Penurunan BI rate serta penerapan blanket guarantee agar mendorong penurunan suku bunga kredit
2.    Ekspor komoditas andalan perlu dukungan khusus dengan skema pendanaan perbankkan tertentu
3.    Dukungan kemudahan letter of credit (LC) Stimulus lain
4.    Pemangkasan ekonomi biaya tinggi
5.    Pemangkasan biaya logistik pelabuhan
6.    Perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan barang impor
7.    Hentikan imfor barang yang bisa di produksi dalam negeri.
























BAB III
PENUTUP

Sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara “habis-habisan” (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.
Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah “gulung tikar” sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi “sekarat” itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.
Untuk mengantisipasi Krisis Ekonomi Global bukan hanya tugas pemerintah semata, kebersamaan dan saling bahu membahu dalam mengatasi krisis antara pemerintah, dunia usaha dan pelaku-pelaku ekonomi lainnya akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, sehingga para investor tidak ragu dalam menamkan modal dan berinvestasi di Indonesia. Para eksportir harus jeli dalam melirik peluang pasar  yang ada, khususnya dikawasan Asia, Timur Tengah dan Negera-negara di Eropa yang tidak terkena dampak krisis finansial di Amerika Serikat. Pasar ekspor Indonesia yang selama ini 20% di dominasi oleh Amerika harus kita alihkan ke negara lain tersebut supaya tidak terjadi depisit nilai ekspor dan Import kita.
Kita semua berharap krisis yang terjadi di Negara Adi daya itu cepat berlalalu dan pengaruhnya terhadap perputaran roda perekonomi Indonesia tidak terlalu besar  sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di canangkan pemerintah sebesar 6% dapat tercapai.
Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar